tanahdi Indonesia secara dasarnya berlandaskan Undang-undang Pokok Agararia 1960. Undang-undang tanah ini bukan sahaja melibatkan tanah pertanian, namun dalam masa yang sama ianya melibatkan keseluruhannya tanah di Indonesia termasuk tanah lombong. Isu dalam sistem pemilikan tanah di Indonesia mencetuskan persengketaan
Abstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakanmomen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatanhampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanamankomersial yang laku di pasar Internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Gunamengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukanrekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politikyang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demikepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnyabagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupunyang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untukmemasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek padaperubahan-Perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengahpriyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawaipemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktorkemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain,secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga,konsekuensi dari Perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanyaterpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi denganelit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapipengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanahsebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demikepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, danpertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial.
Pelapisansosial masyarakat pertanian di luar Jawa, seperti di pedalam Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Papua juga memiliki criteria berbeda dengan petani di Pulau Jawa. Hal inui disebabkan oleh kondisi lahan pertanian di luar Jawa yang masih luas. Akibatnya, maslah pemilikan tanah pun tidak terlalu dominant.

ArticlePDF Available AbstractTulisan ini menjelaskan bahwa sistem tanam paksa adalah politik imprialisme terhadap tanah jajahan yang dianggap sebagai politik tidak bermoral, tidak humanis, dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Agar tidak salah kaprah ada baiknya kita perlu memahami perbedaan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa. Para peneliti sejarah juga berpendapat bahwa tanam paksa adalah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal perubahan tradisi di masyarakat Jawa. Sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa-desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian, tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci Dampak, Penerapan, Tanam Paksa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Dampak Tanam Paksa DAMPAK PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA BAGI MASYARAKAT Oleh Zulkarnain Pendidikan Sejarah FISE UNY Abstrak Tulisan ini menjelaskan bahwa sistem tanam paksa adalah politik imprialisme terhadap tanah jajahan yang dianggap sebagai politik tidak bermoral, tidak humanis, dan tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Agar tidak salah kaprah ada baiknya kita perlu memahami perbedaan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa. Para peneliti sejarah juga berpendapat bahwa tanam paksa adalah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal perubahan tradisi di masyarakat Jawa. Sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa-desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian, tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat pedesaan mengenal sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi dari pola transaksi tradisional ke arah pengembangan ekonomi moneter. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC. Kata kunci Dampak, Penerapan, Tanam Paksa. A. Pendahuluan Perang kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro memerlukan biaya cukup besar, dan untuk menutupi anggaran pembiayaan perang tersebut, Belanda terdorong untuk melakukan kembali politik konservatif dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Konsekuensi dari sistem konservativisme ini adalah diberlakukannya Sistem Tanam Paksa atau lebih dikenal dengan cultuurstelsel pada tahun 1830. Selain untuk pembiayaan perang, pemberlakuan sistem tanam paksa bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari tanah jajahan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya pemerintah Hindia Belanda mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan dalam proses penanaman tanaman yang berorientasi ekspor dan bernilai ekonomis tinggi. Sikap konservatif ini bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan cara melibatkan penguasa tradisional Jawa, sehingga INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. penguasa tradisional secara langsung maupun tidak langsung juga ikut menikmati MT. Kahin dalam Sartono Kartodirdjo, 2002 126. Kemudian muncul pertayaan, apakah akan tetap terjadi perbedaan perkembangan ekonomi seandainya sistem Tanam Paksa tidak pernah diterapkan di tanah Jawa .....?. Bagaimanakah jika sebagai pengganti sistem tanam paksa pemerintah kolonial Belanda tetap menerapkan rencana Van den Bosch ini pada tahun 1830 yakni melanjutkan arah yang telah digambarkan oleh Du Bus seperti yang pernah diterapkan pada tahun 1827.....?. Pertanyaan pertayaan ini terasa sulit untuk dijawab karena peristiwa itu belum pernah terjadi dan hanyalah pegandaiaan belaka, tetapi dengan munculnya pertanyaan tersebut paling tidak dapat merenungkan kecenderungan yang akan terjadi dalam jangka panjang, karena pada dasarnya kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial sepenuhnya mengakomodir pola-pola sosial dan ekonomi yang sudah ada dalam masyarakat Jawa Aman,200312. Menurut peneliti sejarah, sistem tanam paksa adalah sebuah sistem yang revolusioner dan merupakan cikal bakal atas sebuah perubahan tradsi dalam masyarakat Jawa. Ada tiga hal penting yang merupakan dampak dari penerapan tanam paksa yakni, terjadi pembentukan modal, tenaga kerja yang murah, dan tumbuhnya ekonomi pada masyarakat pedesaan. Sebelum hal ini dibahas ada baiknya disajikan pertimbangan-pertimbangan para penulis sejarah dalam memandang sistem tanam paksa, agar para pembaca dapat memperoleh gambaran secara komperhensif . B. Penulisan Sejarah Sistem Tanam Paksa Penulisan sejarah ekonomi Indonesia abad ke-19, pada dasarnya bisa dipisahkan dari sistem tanam paksa yang dilaksanakan oleh penguasa kolonial Belanda sebagai sebuah kebijakan konservatif-kolonialis dalam rangka meningkatkan eksploitasi di tanah koloni Belanda. Berdasarkan hasil penelitian dan kajian literatur yang ada, ditemukan gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan tanam paksa di Indonesia, terutama penerapan tanam paksa di Pulau Jawa. Jika mempelajari secara detil dan mendalam mengenai pelaksanaan tanam paksa di Jawa dengan luar Jawa, maka dengan sangat mudah ditemukan perbedaan mendasar terutama yang berhubungan dengan proses pemiskinan masyarakat pribumi Zulkarnain,200219. Dampak penerapan kebijakan sistem tanam paksa di luar Jawa terhadap penduduk tidak terasa berat, karena rata-rata penduduk memiliki lahan pertanian yang cukup luas, dan lahan-lahan produktif milik penduduk tidak dijadikan obyek pelaksanaan tanam paksa. Sementara lahan yang digunakan untuk budidaya tanam, kebanyakan merupakan lahan tidur yang tidak tergarap. Sementara penggunaan lahan dalam sistem tanam paksa di pulau Jawa, budidaya tanaman tidak hanya dilakukan di lahan-lahan tidur, melainkan di lahan-lahan milik Dampak Tanam Paksa petani yang sedianya digunakan untuk tanaman produktif seperti tanaman padi, palawija, tebu, dan sejenisnya. Penelitian-penelitian pada abad ke-19 tentang sejarah sosial ekonomi di Indonesia, menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa di daerah-daerah memperlihatkan dampak atau akibat yang berbeda-beda. Di Pulau Jawa, pelaksanaan sistem tersebut telah mendorong kembali suatu pertumbuhan ekspor yang signifikan, di mana Jawa terlibat praktis dalam perdagangan internasional. Dengan keterlibatan tersebut, eksistensi Jawa menjadi semakin penting dan perannya mulai diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda, berperannya Jawa dalam lintas makro, bukan berarti meningkatkan kesejahteraan signifikan masyarakat petani Jawa. Meskipun lalu lintas uang menyentuh desa-desa di Jawa yang berdampak terhadap perubahan sistem subsistensi menjadi sistem ekonomi baru, namun secara komprehensif masyarakat pertanian Jawa tetap miskin. Sementara itu pelaksanaan sistem Tanam Paksa di luar Jawa, seperti halnya di Sumatera Barat, telah melahirkan stagnasi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perubahan sosial dan ekonomi pada abad ke-19 di Pulau Jawa, sebagai daerah utama pelaksanaan sistem Tanam Paksa, menurut kajian antropologi yang digarap oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution The Process of Ecological Change in Indonesia tahun 1963. Geertz menegaskan bahwa eksploitasi kolonial melalui sistem Tanam Paksa di Jawa telah melahirkan apa yang disebut “involusi pertanian”, yang pada gilirannya menciptakan kemiskinan petani di tanah Jawa secara signifikan. Sistem budidaya tanaman ekspor pemerintah kolonial menurut Geertz, membawa dampak perubahan sosial dan ekonomi yang sangat mencolok Geertz, dalam Suyatno Kartodirdjo, 2003 ix. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam kajian mendalam tentang “Pemberontakan Petani Banten 1888”, pemberontakan para petani, merupakan salah satu contoh akibat gangguan praktik ekonomi kolonial. Kemudian gerakan-gerakan yang berupa resistensi petani Jawa pada abad ke-19 mau tidak mau, suka tidak suka harus dikembalikan pada praktik kolonial dengan penerapan sistem Tanam Paksa yang menyertainya. Dalam kajian sejarah sosial ekonomi selanjutnya, resistensi petani Jawa sudah merupakan tradisi masyarakat Jawa terhadap diterapkannya politik ekonomi kolonial yang menyengsarakan. Hal tersebut sangat relevan dengan teori yang disampaikan oleh Selo Soemardjan bahwa dalam masyarakat yang tertindas, maka akan menimbulkan gejolak sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Apabila teori tersebut dikaji secara historis, maka resistensi dalam masyarakat Indonesia selalu muncul, mengingat tekanan dan penindasan dari penguasa yang terus berlanjut bahkan sampai sampai sekarang. INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. Setelah memahami kajian mengenai pelaksanaan sistem Tanam Paksa, maka gambaran yang diperoleh mengenai perekonomian Jawa bahwa sistem ekonomi modern atau sistem ekonomi uang dan komoditas ekspor, telah mengeksploitasi habis-habisan sistem ekonomi subsistensi yang menjadi basis perekonomian kaum petani. Eksploitasi ekonomi modern melalui penerapan Tanam Paksa merupakan eksploitasi yang bersifat brutal dan mengakibatkan para petani Jawa menderita kemiskinan dan kelaparan berkepanjangan. Teori involusi pertanian karya Clifford Geertz yang menjelaskan proses kemiskinan struktural di Jawa disebabkan oleh pertambahan penduduk Jawa, berkurangnya lahan pertanian, dan perluasan perkebunan Eropa menjadi penyebab utama kemiskinan di Jawa Clifford Geertz,1966 124. Bila peneliti sejarah ingin mengkaji proses penerapan tanam paksa secara obyektif, detil dan medalam ada baiknya para peneliti memotret dari tiga sudut pandang/tiga tahapan, yakni Tahap pertama, mulai sejak tahun-tahun 1850-an dan 1860-an/tahap akhir penrapan tanam paksa, dan berlanjut sampai permulaan dimulai 1920-an, tahapan kedua dari penulisan-penulisan mengenai Tanam Paksa terhitung dari tahun 1920-an sampai akhir kekuasaan kolonial Belanda, dan penulisan tahap ketiga dimulai sesudah kemerdekaan Indonesia dan masih berlanjut sampai sekarang. C. Cultur Stelsel Kaitannya Dengan Kehidupan Masyarakat Hampir semua peneliti mutakhir menyimpulkan bahwa sistem tanam paksa tidak bermoral, tidak humanis, dan sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun. Sehubungan dengan permasalahan tersebut perlu dibedakan antara sistem itu sendiri yang dianggap tidak dapat dibenarkan, dengan dampak penerapan tanam paksa secara konkret bagi masyarakat. Para peneliti belum menemukan kata sepakat mengenai kedua variabel tersebut. Pada satu pihak ada yang berpendapat bahwa sistem ini bermanfaat karena ekonomi uang telah masuk ke desa desa, yang kemudian menjadi penggerak roda perekonomian pada masyarakat pedesaan. Sementara penelitian tentang sistem ekonomi masa VOC menunjukkan bahwa proses moneterisasi sesungguhnya telah muncul dalam masyarakat Jawa pada masa VOC bukan pada masa tanam paksa. Dalam kaitannya dengan masuknya ekonomi uang ke pedesaan, Prof. Van Niel dari Universitas Hawaii mengemukakan penyertaan modal dalam cultuur stelsel pada awalnya bukan berasal dari orang-orang atau lembaga-lembaga Barat, karena Belanda pada saat itu sedang dalam keadaan bangkrut sehingga memerlukan sistem tersebut untuk mendatangkan uang dengan cepat. Sementara permodalan yang digunakan untuk pabrik-pabrik gula yang dikelola pihak swasta datangnya justru dari berbagai pihak di Jawa sendiri, seperti Dampak Tanam Paksa halnya para pensiunan pegawai negeri, perusahaan ekspor-impor, dan sudah barang tentu para saudagar Cina yang telah lebih dulu memiliki modal yang cukup Vani Niel, 1988. Jika teori tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa moneterisasi memang telah berlangsung jauh sebelum cultuur stelsel diterapkan. Ini berarti bahwa terhadap ekonomi uang masyarakat pedesaan, sistem tanam paksa tidak begitu banyak berdampak. Sementara itu Fernando dan O’Malley melalui penelitiannya tentang perkebunan kopi di Cirebon menunjukkan adanya segi-segi positif dari penerapan cultuur stelsel bagi masyarakat Jawa. Dengan meramu pendapat sejumlah sarjana yang pernah meneliti masalah cultuur stelsel seperti Van Niel, Lison dan Fernando, kedua sejarawan tersebut mengungkapkan bahwa ”... bukti sejarah sudah mulai memperlihatkan bahwa pertumbuhan pertanian komersial sesudah tahun 1830, pada masa ini ekonomi pedesaan memiliki efek rangsangan dengan pola komersialisasi yang mengarah pada peningkatan taraf kehidupan bagi mayoritas penduduk pedesaan, paling tidak selama dasawarsa pertengahan abad ke-19” Booth, 1988 236. Fernando juga mengemukakan bahwa dampak cultuur stelsel adalah “cara hidup keluarga subsistensi secara berangsur-angsur mengalami perubahan ke arah matrialistik yang komersil. Dengan sistem tersebut penduduk pedesaan semakin terbiasa untuk membeli berbagai macam kebutuhan rumah tangga dengan menggunakan uang. Dampak ekonomi dari kebiasaan konsumen dari penduduk pedesaan itu tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi non-agraris Fernando, 1991 3. Tesis Fernando tersebut dibenarkan juga oleh Sugiyanto Padmo dari Uuniversitas Gadjah Mada melalui penelitian historisnya. Secara lebih terperinci Fernando juga menjelaskan dalam sebuah tabel yang menunjukkan diversifikasi pekerjaan masyarakat baik agricultuur maupun non-agricultuur. Tabel 1. Komposisi Tenaga Kerja Di Jawa Tahun 1880 Fernando, 1993. Di samping apa yang dikemukakan Fernando, Elson juga secara khusus meneliti masalah-masalah kemiskinan dengan mengajukan pertanyaan bahwa apakah cultuur stelsel menimbulkan kemiskinan atau tidak bagi INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. masyarakat. Elson juga mengakui bahwa masalah tersebut sangat sulit untuk ditetapkan karena keterbatasan sumber sejarah, terutama mengenai data statistik yang kadang membingungkan. Namun ia sampai pada tesis bahwa tidak dapat dikatakan apakah cultuur stelsel menimbulkan kemiskinan pada masyarakat Jawa atau justru sebaliknya mendatangkan kemakmuran. Akhirnya Elson hanya dapat mengemukakan bahwa ”sistem itu langsung atau tidak langsung paling tidak dalam jangka pendek, memberi peluang-peluang untuk suatu pengelolaan secara lebih mantap bagi kehidupan ekonomi pangan serta membuka kemungkinan-kemungkinan untuk pertumbuhan masyarakat tani, yang sebelumnya pilihan hidupnya sangat terbatas” Elson, 1988. D. Pembentukan Modal sebagai dampak Sistem Tanam Paksa Sebelum Sistem tanam paksa diperkenalkan pada tahun 1830, orang-orang Eropa telah melakukan langkah simpatik dengan cara meninggalkan sistem penyerahan hasil bumi dan pengeluaran ongkos secara paksa yang merupakan ciri khas dari operasi VOC. Adapun para produsen potensial dari komuditi-komuditi pertanian yang dapat di ekspor, pada tahun-tahun 1830 adalah sebagai berikut. 1. Para penduduk desa di pulau Jawa yang menguasai tanah-tanah yang dibebani pajak sewa tanah. 2. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang memakai tanah yang “tak berharga atau berlebih”, dengan membayar sewa kepada pemerintah. 3. Para pengusaha perkebunan swasta, terutama orang-orang Eropa yang mengadakan kontrak dengan pangeran-pangeran Jawa untuk pemakaian hak tunjangan mereka di daerah-daerah kesultanan. 4. Para pemilik tanah partikelir, terutama orang-orang Eropa yang memiliki hak-hak tuan tanah atas tanah-tanah mereka berikut rakyat di atas tanah-tanah itu. Masing-masing produsen seperti tersebut di atas mengalami kesukaran dalam proses penambahan modal guna memperluas dan meningkatkan operasinya. Sementara lembaga permodalan atau para pengusaha dari orang orang Eropa sebagai satu-satunya jenis modal yang tersedia pada saat itu tidak tertarik menanamkan modal di pulau Jawa. Hal ini di karena mereka mempuyai pengalaman buruk dengan perusahaan-perusahaan perkebunan milik kolonial, yakni pernah mengalami resiko kerugiaannya cukup besar. Dari empat bentuk pengaturan produksi seperti telah dijelaskan di atas, hanya poin kedua yakni, para pengusaha perkebunan swasta yang mengerjakan tanah dan penyewa dari pemerintah dan peraturan-peraturan perburuhan. Aspek ini kelihatannya mempunyai potensi untuk menarik serta mendapatkan Dampak Tanam Paksa modal. Desa di Jawa sama sekali di luar jangkauan keterlibatan ekonomi dan tidak menunjukan budi daya untuk ekspor. Dibiarkan untuk berbuat sekehendaknya, desa memusatkan perhatianya pada mata pencahariannya sendiri, menghasilkan beras, kantum, nila, dan produk- produk yang lain untuk kehidupan sehari hari, lagi pula, karena prosedur resmi yang biasa dipakai di Barat mempunyai pengaruh kecil pada masalah pedesaan, maka tidak ada perlindungan bagi para penanam modal, pengalaman antara tahun 1815 dan 1830 telah memperlihatkan, di mana hasil budi daya untuk diekspor -seperti perkebunan kopi diserakkan pada pengawasan desa, penanaman-penanaman itu diabaikan atau dibiarkan saja produk-produk untuk ekspor, seperti yang diperoleh selama masa ini, berasal dari para pengusaha perkebunan swasta yang menyewa tanah dari tanah bengkok, atau dari daerah-daerah di mana pelaksanaan serah paksa tetap berlaku Van Niel, 1981. Sistem Tanam Paksa mempunyai tujuan utama untuk merangsang produksi dan ekspor dari komoditi-komoditi pertanian yang dapat dijual di pasaran dunia. Pemerintah menyadari sejak semula bahwa setiap pengolahan yang diperlukan oleh produk-produk ini, mungkin harus dikembangkan dengan pemasukan-pemasukan modal yang diusahakan oleh pemerintah sendiri untuk melengkapinya. Pemerintah meminjamkan uang kepada orang-orang yang mengadakan perjanjian untuk mendirikan pabrik/penggilingan untuk pengolahan produk-produk pertanian yang disediakan oleh para penduduk desa. Peraturan-peraturan kontrak semacam itu dilaksanakan untuk berbagi hasil panen, tetapi hanya di bidang pembuatan gula, peraturan-peraturan itu menjadi faktor yang banyak artinya dalam usaha menghasilkan pertambahan modal. Para kontraktor pemerintah bukan saja menerima modal yang dibutuhkan untuk membangun fasilitas-fasilitasnya, tetapi juga mendapat bantuan pemerintah untuk memperoleh batang tebu mentah raw cane dan tenaga kerja yang diperlukan. Kontraktor berkewajiban menjual gula yang telah diolah itu kepada pemerintah untuk membayar kembali pinjamannya, tetapi kelebihan jumlah gula yang diperlukan untuk pembayaran kembali pinjaman itu tadi, boleh dijual tersendiri oleh kontraktor demi keuntungannya sendiri. Di sini terdapat peluang untuk menghasilkan uang, dalam jangka waktu beberapa tahun, nilai penjualan-kembali kontrak-kontrak gula ini meningkat pesat. Sistem Tanam Paksa–melalui suntikan modal dari pemerintah dan melalui penanaman produk yang berorientasi ekspor berimplikasi positip yakni mulai munculnya kepercayaan dari para petani bahwa mereka dapat berkembang, bekerja lebih efesien dan memperoleh keuntungan cukup besar seandainya pemerintah tidak ikut dalam sistem tanam paksa. Kepercayaan diri para petani inilah yang mendorong semangat para petani untuk berjuang dalam INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. menigkat tarap hidup yang lebih baik sekaligus sebagai awal mula munculnya pengusaha pengusaha lokal di wilayah pedesaan dan mereka sudah mulai memahami paham tentang menejmen permodalan dalam dunia perdagangan serta mulai berani melepaskan diri dari cengkeraman pemerintahan tradisional mulai dari pemimpin desa sampai ke pemimpin diatasnya secara hirarkis. E. Tenaga Buruh Murah dalam Sistem Tanam Paksa Dalam budi daya tanam yang berorientasi ekspor, keberadaan buruh dengan upah murah merupakan kebutuhan utama dalam sistem tanam paksa. Pengawasan terhadap tenaga buruh pada abad ke-19 merupakan suatu hal yang penting ketimbang pengawasan terhadap tanah. Sistem Tanam Paksa mempekerjakan tenaga buruh dengan menerapkan pola tradisional Jawa yang dapat mengkondisikan tetap eksistensinya keberadaan buruh terutama buruh di pulau Jawa. Hal demikian dimaksudkan agar para petani menyerahkan sebagian hasil perkebunannya kepada pejabat yang lebih tinggi di lingkungannya secara hirarkis seperti yang telah ditentukan oleh penguasa Hindia Belanda Naessen, 1977. Untuk pekerjaan ini para buruh tidak dibayar, karena pekerjaan tersebut dipandang sebagai suatu pola tata hubungan sosial yang hierarkis sekaligus bentuk penghormatan rakyat terhadap penguasa. Sebelum diterapkan sistem Tanam Paksa pada awal abad ke-19, pajak atas sewa tanah yang dikenal sebagai sewa tanah, telah berlangsung dalam masyarakat sebagai pengganti penyerahan hasil perkebunan. Untuk memungut pajak, maka desa merupakan unit yang ditunjuk untuk mengorganisasikannya, di samping sebagai unit penyedia serta penyalur pelayanan tenaga kerja paksa yang tanpa pembayaran. Perubahan-perubahan demikian ditinjau dari sudut pandang sosial, ekonomi, maupun politis, menimbulkan kesenjangan dan perpecahan dalam masyarakat Jawa karena mereka mengagap ada diskriminasi perlakuaan sehingga muncul keinginan untuk melakukan protes dan perlawanan. Sebagaimana VOC sebelumnya, pemerintah kolonial di Hindia Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja Jawa dan menuntut hak istimewa sebagaimana yang diberikan kepada para pejabat bangsa Jawa yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam hak-hak ini termasuk hak atas pelayanan para buruh, seperti yang sebelumnya terjadi untuk membangun sarana dan prasarana seperti pembangunan jalan-jalan, benteng, saluran irigasi, dan sarana-sarana umum dimana pemerintah membayarnya dengan upah yang sangat murah. Kerja paksa yang ditujukan untuk para kepala desa dan juga atasan-atasan dari bangsa Jawa juga meningkat drastis, kendatipun pemerintah berwenang mengawasi apakah terjadi penyalahgunaan wewenang di luar yang ditentukan oleh pemerintah. Harus diakui bahwa peran dan keberadaan kepala desa sangat penting dalam rangka menyalurkan tenaga buruh yang tersedia Dampak Tanam Paksa untuk memungut pajak, sehingga pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa mereka. Dengan demikian pola-pola tradisional harus tetap dipertahankan agar mendapatkan dukungan dari para kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Para petani Jawa bekerja di bawah pemerintah kepala desa, dengan menganggap bahwa pekerjaan itu sebagai persembahan tradisionalnya kepada pejabat-pejabat yang lebih tinggi. Bahkan pengusaha-pengusaha perkebunan swasta yang mendapatkan tenaga buruh yang diberi upah, harus mengembalikan nilai kerja rodi buruh tersebut. Ada pula yang mendapatkan buruh dengan membayar pajak sebuah desa sehingga mendapatkan hak sebagai tuan besar untuk pelayanan buruh. Setelah tahun 1830 pemerintah sudah mulai mengenalkan sistem kontrak kerja terhadap petani dengan pemberian upah yang tidak begitu tinggi. Walaupun sistem upah sudah mulai diterapkan tapi para petani atau kaum buruh masih terikat dengan hubungan kekerabatan tradisional Jawa yakni masih tetap memenuhi kewajibannya selaku anggota masyarakat pada perintah desa. Hal ini dikarenakan para petani Jawa belum terbiasa dengan sistem upah, sehingga kegiatan kerja yang mendapat imbalan upah tetap tidak membawa perubahan berarti bagi penigkatan tarap hidup ke arah yang lebih baik. Fenomena ini diakibatkan penduduk sudah terbiasa dengan pola hidup subsistensi yang hanya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di luar itu mereka tetap memandang bahwa bekerja tetap terbatas pada pelayanan wajib kepada penguasa, yang lebih tinggi dan harus dipenuhinya. Dalam perkembangannya, meningkatnya kebutuhan tenaga buruh, juga diiringi dengan meningkatnya praktek-praktek pemaksaan yang dilakukan oleh para pejabat yang terikat pada pelayanan pemerintah. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan juga tekanan atas tanah-tanah di daerah penanaman pemerintah, maka uang ekstra dari upah makin lama makin penting artinya bagi ketahanan hidup para petani yang lebih miskin. Para penulis tahap pertama banyak memanfaatkan kenyataan, bahwa para penguasa perkebunan dan kontraktor sejak dasawarsa tahun 1840-an ke atas mengatakan bahwa buruh upah bekerja lebih baik dan efisien ketimbang buruh-buruh paksa. Hal ini dapat diterima mengingat tanggung jawabnya sebagai buruh harus tetap dijaga agar tetap dipercaya sebagai buruh yang dibayar. Sementara bagi mereka buruh yang tidak dibayar, maka tidak ada ikatan formal, sehingga tidak mengutakan pelayanan kerja yang baik. Namun demikian, pada tahun 1850-an, usaha-usaha untuk memasukkan buruh tani ke dalam daerah yang biasanya dikerjakan oleh buruh rodi, harus ditinggalkan, karena tidak ada kaum buruh yang bersedia bekerja dengan tingkat upah yang dijanjikan oleh pemerintah. Sebagian besar petani Jawa tidak belajar menghargai pekerjaan sebagai alat untuk mencapai tujuan, melainkan INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. tetap memandang pekerjaan mereka sebagai beban yang harus dipikul dan menjadi derita kesehariannya. Penambahan jumlah kerja paksa yang sangat memberatkan di seluruh daerah penduduk yang lebih luas, mungkin membuka mata para petani, mengenai teknik dan cara-cara bekerja di suatu perkebunan. Pada tahun 1860-an dan 1870-an, para pengusaha perkebunan swasta mulai mengadakan perjanjian perburuhan dan perjanjian tanah dengan perorangan dan desa-desa, sangat nyata bahwa sistem Tanam Paksa tidak berkontribusi banyak untuk mempersiapkan cara bagi pembentukan pasaran buruh yang bebas dan sukarela. Namun sebaliknya, sistem Tanam Paksa telah menyebabkan penilaian yang negatif bagi pekerjaan karena memberikan kompensasi atau ganti rugi serendah mungkin. Dengan meneruskan penggunaan pola-pola kekuasaan tradisional sistem Tanam Paksa juga menciptakan kebutuhan akan penghasilan tambahan di daerah-daerah di mana penanaman ekspor dapat berkembang. Bagi para pengusaha perkebunan swasta, kondisi tersebut dapat menimbulkan keuntungan maupun kerugian. Keuntungan terletak pada kenyataan akan rendahnya tingkat upah yang sedang berlaku, dan dengan demikian mereka dapat terus bersaing di pasaran dunia. Sementara itu kerugiannya, yang sementara itu lebih besar ketimbang keuntungannya, muncul karena adanya masalah-masalah dalam rangka menarik dan menahan tenaga kerja. Para pencari tenaga kerja diberikan pada otoritas tradisional, yakni para kepala desa dan tokoh-tokoh pesgusaha lainnya, mereka memberi uang muka terlebih dahulu untuk menarik tenaga kerja, namun demikian masalah yang muncul adalah buruh seringkali tidak masuk kerja sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja. Dengan demikian, berbagai tekanan terhadap buruh yang dianggap lalai mereka gunakan. Sementara pengadilan resmi berlangsung lambat dan tidak memadai, lebih efektif memanpaatkan orang-orang kuat untuk memaksa para pekerja. Bahkan kadang-kadang para pengusaha perkebunan dapat membujuk para pejabat administrasi untuk membantu dan memaksa. Menjelang tahun 1880-an, tekanan pertumbuhan penduduk menjadi jelas dengan berkurangnya lahan garapan yang tersedia, dan semakin terbatasnya kemampuan desa untuk menyiapkan kebutuhan pokok mereka, sehingga banyak orang yang harus mencari tambahan penghidupan di luar desa mereka. Pada saat yang sama berjangkitlah hama tebu dan kopi yang mengakibatkan penurunan drastis hasil tanaman ekspor. Padahal penduduk sudah mulai menggantungkan hidupnya di perkebunan-perkebunan tersebut, sehingga dengan berkurangnya produksi kopi dan gula, maka upah yang diterimakan kepada penduduk juga semakin berkurang. Hal itu masih ditambah dengan munculnya gula bit dari Eropa yang berperan dalam menurunkan harga gula di pasaran dunia internasional menurun. Dampaknya para pengusaha perkebunan menurunkan tingkat upah bagi para buruh, dan mengurangi pula Dampak Tanam Paksa jumlah uang untuk penyewaan tanah. Faktor-faktor yang kompleks tersebut mengakibatkan penurunan jumlah uang yang tersedia bagi masyarakat Jawa, yang berdampak pada harusnya kesediaan yang lebih besar dari masyarakat, untuk menerima upah buruh dengan harga dan syarat-syarat yang sebelumnya tidak dapat mereka terima Elson, 1982. Penelitian-penelitian yang muncul selama ini khususnya tentang kesejahteraan masyarakat pedesaan Jawa cenderung mendukung gagasan bahwa, di Jawa selama penerapan sistem Tanam Paksa berlangsung terdapat lebih banyak kekayaan materi ketimbang dengan tahun-tahun sesudah pembubarannya. Pengerahan tenaga kerja berdasarkan corvee tradisional Jawa pada umumnya didasarkan pada hak-hak kepemilikan tanah. Kerja menurut pengaturan semacam itu, dihitung berdasarkan suatu sistem yang dikenal dengan cacah rumah tangga, kepala rumah tangga yang mempunyai hak-hak atas tanah juga diwajibkan melaksanakan corvee tidak menjadi masalah, apakah pekerjaan tersebut dikerjakan sendiri atau menyuruh seorang anggota keluarga untuk melaksanakannya. Sistem cacah masih berlaku pada 1830, dan lambat laun sistem cacah dihapus oleh Van den Bosch karena setelah tahun 1838 tidak ada lagi rujukan dengan sistem tersebut. Alasannya cukup jelas, di mana untuk pengadaan tenaga kerja sebanyak-banyaknya maka perlu diterapkan pelayan kerja berdasarkan perorangan, bukan atas dasar rumah tangga. Dampaknya, banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tanamm paksa tidak lagi mempunyai hak atas tanah. Banyak desa merasa perlu melakukan penyesuaian dengan menyerahkan hak penggunaan sebidang tanah kepada beberapa orang sehingga tenaga mereka dapat diikutsertakan dalam pengaturan kerja yang dibutuhkan oleh sistem Tanam Paksa. F. Perubahan Ekonomi Pedesaan Pelaksanaan sistem Tanam Paksa dalam prakteknya mengikuti pola tradisional yang berlaku dalam masyarakat Jawa, sehingga dapat menggerakan para petani di daerah-daerah tertentu agar mau bekerja dalam menghasilkan tanaman untuk ekspor. Harapan pemerintah adalah dengan menggunakan otoritas kepala desa, dapat menggerakan penduduk untuk mau menyerahkan sebagian tanah untuk kepentingan tanam paksa, dan juga mau bekerja untuk tanaman ekspor. Sikap ini juga dimaksudkan untuk mengkondisikan agar masyarakat Jawa tetap statis. Kenyataannya hal tersebut tidak terjadi karena dampak ekonomi sistem tersebut justru telah menggerakan perubahan-perubahan dan mempercepat kecenderungan-kecenderungan yang sudah ada. Pola-pola tradisional kalangan atas di tingkat desa sudah kocar-kacir pada permulaan abad ke-19 sehingga sistem Tanam Paksa hanya dapat menggunakan pola-pola itu dengan cara-cara INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. yang tidak rasional dan alamiah. Tokoh-tokoh penguasa mengalami tekanan-tekanan yang semakin berat karena tuntutan-tuntutan sistem tersebut terhadap mereka. Sistem Tanam Paksa dianggap telah mengubah hak-hak pemilikan tanah dari milik perseorangan menjadi milik bersama, yang tentunya telah merusak hak-hak perseorangan atas tanah yang sebelumnya sudah ada. Hak-hak pemilikan tanah merupakan kepentingan subjektif bagi kelompok-kelompok pengusaha swasta yang hendak mengganti sistem tersebut dengan bentuk eksploitasi mereka sendiri. Sementara Furnival dan Burger merupakan penulis yang fanatik mendukung kecenderungan tersebut, pembentangan paling jernih dari argumen ini dalam bahasa Ingris didapati pada penelitian Clifford Geertz mengenai involusi pertanian Geertz, 1963. Dengan memintakan perhatian terhadap bukti-bukti dan kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan oleh para peneliti terdahulu, dalam menjelaskan perkembangan-perkembangan semenjak diperkenalkanya sistem Tanam Paksa, mereka mendapati bahwa telah terjadi homogenisasi sosial di desa-desa Jawa yang mengakibatkan “kemiskinan bersama”. Jauh sebelum sistem Tanam Paksa dilaksanakan, kaum tani Jawa telah menyesuaikan diri secara pleksibel pada kebutuhan-kebutuhan setempat, tempat di mana mereka berada. Sifat-sifat seperti bersedia bekerja keras, kemampuan perorangan, dan penyesuaian kepada perubahan, serupa dengan apa yang telah dikemukakan oleh Selo Soemardjan pada tahun-tahun 1960-an Selo Soemardjan, 1968. Para pengusaha di atas tingkat desa mengetahui semuanya itu, lalu mengolahnya secara terinci dengan para kepala cacah mereka, yang oleh Hoadley, yang meneliti wilayah Cirebon dan Priangan, dipandang sebagai abdi-abdi para penguasa yang lebih tinggi. Penyesuaian demikian memungkinkan para kepala di atas tingkat desa memenuhi kebutuhan pemerintah akan hasil-hasil pertanian dan tenaga buruh, sambil juga memenuhi kebutuhan mereka sendiri yang meningkat akan tenaga buruh, serta akan lahan penanaman yang lebih luas. Di bawah pengarahan mereka, pemakaian lahan yang tersedia dapat diatur dan penyesuaian-penyesuaian dapat diadakan. Hak-hak milik atau hak-hak pengawasan atas lahan berada di tangan para kepala cacah dan golongan elite lokal lainnya. Berdasarkan kenyataan sistem agraris ini, maka sistem Tanam Paksa diperkenalkan pada tahun 1830. Tujuannya adalah untuk mendapatkan komoditi-komoditi yang dapat dijual di pasaran dunia, dan untuk tujuan tersebut sistem Tanam Paksa memakai lahan dan tenaga kerja dari orang-orang desa di Jawa yang dibujuk atau dipaksa oleh para kepala di atas tingkat desa. Hal tersebut harus dilakukan dalam batas-batas sistem Sewa Tanah Van Niel, 1964. Dampak Tanam Paksa Akhir-akhir ini penelitian sejarah mengetengahkan informasi mengenai apa yang terjadi di desa-desa sesudah tahun 1830, ketika pemerintah mulai menyusun pola-pola produksi baru, informasi tersebut memberikan interpretasi yang berbeda atas kejadian-kejadian, berbeda dengan apa yang telah dikemukakan dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Bukti-bukti fisik dari Cirebon, Pekalongan, Jepara, dan Pasuruan, semua daerah dimana penanaman untuk pemerintah telah diperkenalkan, dan memperlihatkan bahwa kepemimpinan desa telah berhasil menarik keuntungan dari kebutuhan-kebutuhan pemerintah itu dan memperkuat kekuasannya dan melakukan pendekatan pribadi di lingkungan struktur pedesaannya Elson, 1979. Dengan menggunakan hak-hak tanah mereka, baik secara perorangan maupun kolektif resmi, dan terutama dengan menyalahgunakan tenaga kerja paksa yang berada di bawah pengawasan mereka, memungkinkan bagi mereka untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ke dalam. Dengan cara demikian, mereka mendapatkan keuntungan berlipat ganda, yakni memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemerintah di satu pihak, dan menjadikan dirinya makmur dari hasil pembayaran yang masuk ke desa di lain pihak. Kewenangan pendistribu-siannya sangat tergantung dari kehendak para pemimpin tradisional. Dalam prakteknya, tidak semua desa mengadakan reaksi yang sama, tidak semua peraturan penanaman sama, dan tidak semua perubahan itu terjadi pada waktu yang bersamaan Fernando, 1982. Jika diamati secara mendalam, maka penelitian-penelitian yang baru memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih dapat dipahami, ketimbang terhadap pandangan-pandangan lama tentang pengaturan-pengaturan rumah tangga desa di Jawa sekarang. Dengan menggunakan istilah yang lebih sederhana, maka desa-desa di Jawa masa kini menunjukkan perbedaan sosial yang tegas serta riil antara penduduk desa yang kaya dengan penduduk desa yang miskin. Mereka pada umumnya tidak memperlihatkan pemerataan tingkat sosial maupun homogenitas sosial, yang disangka telah disebabkan oleh penerapan sistem Tanam Paksa, berdasarkan tulisan-tulisan sejarah sosial sebelumnya. Di samping itu, desa-desa masa kini juga menunjukkan suatu kohesi yang kuat, sesuatu yang biasanya tidak akan dilukiskan sebagai suatu pengaruh disintegrasi yang terasa kemudian. Bagi pengamat Barat terutama pada akhir abad ke-19, penguasaan bersama yang semakin meningkat dari pemilikan lahan itu secara sosial merusak ketertiban desa. Kondisi tersebut menimbulkan kesukaran bagi pengaturan kontrak-kontrak perorangan untuk menyewa tanah atau lahan. Sementara pengaturan penguasaan bersama seringkali tidak meliputi hak penuh atas lahan tersebut, hanya terbatas pada penggunaannya dan juga sama atas hasilnya. Para pemimpin desa, yang hampir tidak pernah secara langsung menggarap lahan, dapat mempertahankan pengawasan sepenuhnya atas sebagian besar lahan-lahan pedesaan tersebut. Pengaturan-pengaturan kontrak INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. dalam berbagai bentuk yang luas, tersedia bagi mereka dalam mempertahankan apa yang telah mereka miliki, sementara membiarkan orang lain menjalankan pekerjaan di ladang atau di mana saja. Para petani kecil yang mandiri, yang bukan merupakan bagian dari lingkaran dalam desa itu atau yang telah melawan kemauan para pemimpin desa, barangkali telah mengakibatkan hidup mereka tersiksa. Secara ekonomis, orang-orang demikian telah mengalami kerugian bahkan dapat dilakukan pemaksaan untuk meninggalkan lahan dan desa mereka. Sedangkan rumah tangga-rumah tangga dan tenaga kerja yang tidak pernah memiliki tanah, tidak begitu terpengaruh oleh otoritas kepala desa, karena mereka di mana pun selalu bekerja untuk orang lain. Oleh sebab itu penguasaan-penguasaan bersama tersebut tampak seolah-olah menghilangkan perbedaan-perbedaan sosial di desa, meskipun sebenarnya tidaklah demikian. Begitu juga keadaan tersebut tidak menimbulkan kesulitan yang berarti bagi para pengusaha perkebunan swasta yang ingin menyewa lahan-lahan pedesaan. Dalam hal ini, sekali lagi biasanya kepala desa menguasai keadaan dan sesuatu persetujuan selalu dapat dicapai. Dalam struktur golongan sosial dan ekonomi desa ini, peralihan tidak secara keseluruhan mengubah ikatan yang menyatukan desa sebagai suatu kesatuan sosial dan sebagai suatu unit yang produktif. Meskipun para penduduk desa memahami perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi, desa juga tetap merupakan pusat sistem penghidupan bagi sebagian besar penduduk. Benar, orang-orang berpindah ke kota dan mendapat pekerjaan bukan jenis pertanian, sedangkan yang lain-lain menggabungkan diri dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ekspor. Tetapi sebagian besar orang Jawa, tinggal di desanya. Bahkan sebagian dari mereka yang tampaknya sama sekali terpisah, memelihara ikatan dengan desanya dalam berbagai cara. Pengaturan yang sedikit banyaknya bersifat ganda ini, ternyata merupakan salah satu batu-batu fondasi dari cara pengaturan tenaga buruh murah yang menguntungkan bagi sektor ekspor dari perekonomian. Perangkat desa mengumpulkan dan mengelola penyediaan tenaga buruh murah ini, harus mempertahankan ikatan-ikatan dan hubungan-hubungan tradisional agar dapat memenuhi fungsi yang tidak dihapuskan ini dengan cara mengubah buruh-paksa menjadi buruh yang diberi upah, sebab tingkat upah yang rendah tergantung pada simbiose yang berkesinambungan antara ekspor swasta dengan ekonomi pedesaan. Dalam konteks inilah para pemimpin desa harus membangun dan memperluas kekuasaan mereka. Kenyataan-kenyataan itu tidak menyebabkan mereka menjadi petani mandiri yang berorientasi pada pasar, walaupun dalam bidang ini mereka memang melakukan fungsi-fungsi sebagai perantara. Mereka tidak dapat mengabaikan hubungan-hubungan sosial desa, karena desalah satu-satunya yang merupakan tumpuan mereka sebagai Dampak Tanam Paksa basis kelembagaan yang tunggal untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan yang berkesinambungan. Dalam kaitan suatu sistem ekonomi padat karya para pemimpin desa berusaha keras dalam mempertahankan ikatan-ikatan tradisional dan kewajiban-kewajiban sosial. Karena dengan dipertahankannya sistem sosial tradisional, maka para pemimpin desa akan mudah memperoleh tenaga kerja baik untuk kepentingannya sendiri, maupun untuk pengabdian atau melayani pemerintah kolonial. Akhirnya yang menjadi objek pemerasan adalah penduduk, yakni disamping harus memenuhi tuntutan pemerintah kolonial, di sisi lain mereka dituntut untuk tunduk pada para kepala desa sebagai pemimpin tradisional mereka. Tidak heran apabila ketika terjadi resistensi yang dilakukan oleh masyarakat yang merasa tertindas, maka yang paling pertama menjadi sasaran adalah para pemimpin tradisional. Fenomena ini dapat difahami mengingat merekalah para pemimpin tradisional yang dirasa secara langsung melakukan politik eksploitasi terhadap rakyat, baik berkenaan dengan masalah tanah, maupun yang berhubungan dengan tenaga kerja. G. Penutup Dalam pembangunan ekonomi dewasa ini, tampaknya perlu menimba pengalaman-pengalaman masa lampau, misalnya, bagaimana sistem ekonomi modern mempunyai dampak baik positif maupun negatif terhadap sistem ekonomi subsistensi. Sumbangan pemikiran sejarah dalam kajian ekonomi Indonesia abad ke-19 dapat memberikan sebagian jawaban untuk kepentingan yang berarti pada masa sekarang. Demikianlah, sejarah akan menemukan kegunaannya melalui tiga dimensi waktu yakni masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Konsepsi ini sangat relevan dengan terminologi Allan Nevin yang menegaskan bahwa sejarah adalah jembatan penghubung antara masa lampau, masa sekarang, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan. Sejarah dalam bentuknya yang seperti apa pun juga, hendaknya janganlah dianggap hanya sebagai kenangan masa lalu yang tiada guna, melainkan menjadikannya suatu peristiwa bermakna bagi kehidupan riil umat manusia. Tidak salah lagi bahwa sistem Tanam Paksa yang diterapkan di Hindia Belanda telah mendatangkan perubahan sosial masyarakat baik secara makro maupun mikro. Sistem Tanam Paksa merupakan penghisapan dan pemerasan secara brutal yang dikelola oleh orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan, yang nilai-nilainya dibentuk oleh latar belakang kebudayaan masing-masing. Sistem Tanam Paksa menjalankan suatu tipu muslihat pada lingkungan sosio-ekonomi secara lebih canggih dan rumit. Dalam membahas sistem Tanam paksa, akan lebih komprehensif apabila dikaji tidak secara tradisional, agar berbagai aspek yang menyertai dilaksanakannya sistem dapat teungkap. Karena jika tidak, maka gambaran utuh dari sistem ini tidak akan INFORMASI, No. 1, XXXVII, Th. 2011. ditemukan. Namun demikian secara riil adalah tidak dapat diabaikan bahwa pelaksanaan sistem Tanam Paksa menyebabkan adanya pembentukan modal, adanya tenaga murah dan terjadinya perubahan ekonomidi tingkat pedesaan. Daftar Pustaka Anne Booth, William Anna Weidemann ed, 1988. Sejarah Ekonomis Indonesia. Jakarta LP3ES. Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Procenteen. Hutagalung, Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah India-Belanda. Robert Van Niel, 1992. Java Under the Cultivation System Collected Writings. Leiden KITLV Press. Elson, 1978. The Cultivation System and Agricultural Involution’. Melbourne Monash University. C. Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en Koloniale Baten De Nederlandse Exploitatie Van Java 1840-1860. Leiden University Press. Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Biodata Penulis Zulkarnain. Lahir di Sumbawa Besar, 9 Agustus 1974. Menamatkan Pendidikan S2 Pendidikan Sejarah Univ. Jakarta. Saat ini sebagai tenaga pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah FISE Universitas Negeri Yogyakarta dan mengampu mata kuliah Sejarah Ketatanegaraan. Ammar MuhammadKabupaten Tegal merupakan daerah yang diwajibkan ditanami tanaman tebu karena memiliki dukungan alam yang subur. Pada tahun 1832 didirikanlah Pabrik Gula Pangkah yang menjadi pabrik gula pertama di Kabupaten Tegal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mengapa Pabrik Gula Pangkah berdiri dan perkembangan Pabrik Gula Pangkah tahun 1832-1870 serta dampak sosial ekonominya terhadap masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah kritis yang terdiri dari; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Kabupaten Tegal merupakan wilayah yang memiliki kondisi geografis yang subur dan memiliki jumlah penduduk yang besar. Pada perkembangannya dari tahun ke tahun mengalami kenaikan jumlah produksi gula yang signifikan, karena didukung oleh kondisi perkebunan, tenaga kerja, dan infrastruktur yang cukup baik. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan yaitu meningkatnya jumlah penduduk di Distrik Pangkah dan pergeseran kepemilikan tanah petani, serta terserapnya tenaga kerja di sektor perkebunan dan pabrik Kunci Pabrik Gula Pangkah, Sosial Ekonomi, Kabupaten Tegal Johannes "Hans" Iemke BakkerCees FasseurThis is a book review of an excellent book by Professor Cees Fasseur of Leiden University. He has done path breaking work on the cultivation system in Java. In the Netherlands these days he is famous for other work, but his early work on Java in the nineteenth century should not be Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah India-BelandaB R HutagalungHutagalung, Batig Sloot dari Cultuurstelsel. Monopoli Perdagangan Opium oleh Pemerintah Cultivation System and 'Agricultural InvolutionR E Elson, 1978. The Cultivation System and 'Agricultural Involution'. Melbourne Monash University.

Pemerintahmenjadi pemilik semua tanah di Jawa dan orang Jawa menjadi penyewa tanah yang harus membayar sewa tanah. Bupati diubah dari bnagsawan pemilki tanah menjadi pegawai yang tebu dikelompokan atas tiga kelompok berdasarkan perkiraan kansungan gulanya. The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 159 Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870 Periode Awal Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad1 Sudrajat1 1Afiliasi Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia Shomadsejarah2013 sudrajat Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019 Abstrak Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut dengan fase perkebunan negara 1830-1870. Sedangkan, fase kedua adalah fase perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria. Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa. Kata KunciAgrarische Wet 1870, swasta, perkebunan. Abstract The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is called the state plantation phase 1830-1870. Meanwhile, the second phase is the private plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870 Agrarian Law. The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java. Keywords 1870 Agrarische Wet, private, plantation. PENDAHULUAN Pasca kerja paksa, sistem politik dan kebijakan pertanahan memasuki babak baru, yakni era ekonomi liberal berlaku di Hindia Belanda. Pada periode ini, perdebatan di parlemen Belanda tentang investasi perkebunan skala luas kemudian menghasilkan Regering Reglement Agrarische Wet 1870. Sistem monopoli pemerintah kolonial selama ini tentang tanah didesak oleh swasta agar pihak swasta diberi ruang untuk melakukan investasi di Hindia Belanda. Hasilnya keluarlah Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria Salim, 2014 18-19. Sekilas, lahirnya Agrarische Wet 1870, seolah memberi kabar gembira kepada rakyat pribumi karena rakyat pribumi akan diberikan hak eigendom. Akan tetapi, Agrarische Wet 1870 hanyalah alasan untuk memuluskan jalan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Keuntungan yang besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 160 hanya dinikmati oleh para pemodal asing, sementara rakyat pribumi hidupnya semakin merana Anggraini, 2016 45-46. Sejak diberlakukannya Agrarische Wet 1870, pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda dan negara Eropa lainnya mendapatkan jumlah keuntungan yang luar biasa dengan berlandaskan pada colonial super profit. Istilah ini mengacu pada kondisi akumulasi modal luar biasa dari investasi modal asing yang mendapatkan tenaga kerja dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Di samping itu, pihak pemodal tidak perlu menanggung beban pembangunan infrastruktur seperti fasilitas transportasi dan komunikasi. Semuanya dibiayai oleh pemerintah yang diambil dari pungutan pajak oleh pemerintah terhadap penduduk negeri jajahan Achdian, 200820. Pemberlakukan Agrarische Wet 1870 selama lebih dari 70 tahun 1870-1942, menjadi landasan legal-politis pemerintah kolonial Belanda dalam memfasilitasi perusahaan-perusahaan kapitalis Eropa dengan hakerfpachtrecht selama 75 tahun Rachman, 2012 15. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan pasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Beberapa komoditi utama perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, kareta, kina, dan kelapa. Sedangkan, di luar Pulau Jawa adalah karet, kelapa sawit, dan tembakau merupakan produk utamanya khususnya di Sumatera. Dalam periode ini, komoditi gula mulai menggantikan kedudukan kopi sebagai primadona produk unggulan yang diproduksi di Pulau Jawa. Berdasarkan analisis tersebut, maka artikel ini akan membahas sejarah lahirnya Agrarische Wet 1870 dan hubungannya dengan swastanisasi perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. METODE Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap, yakni heuristik heuristik, kritik sumber verifikasi, interpretasi oufassung, dan historiografi darstellung Abdurrahman, 2011 104. Sumber-sumber dalam kajian ini menggunakan data-data sekunder yang relevan dengan objek pembahasan. Sumber sekunder adalah dokumen yang menguraikan atau membicarakan sumber primer. Katagori sumber sekunder adalah monografi, buku-buku pelajaran, hasil kongres, makalah, prasaran, dan lain-lain Marzuki, 2014 36. Sumber-sumber tersebut didapatkan dari beberapa perpustakaan, google book, dan jurnal- HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 161 jurnal resmi yang bisa diakses di internet. PEMBAHASAN LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan di Indonesia telah hadir sejak era pendudukan kolonial Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Indonesia pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca 1870. Pada sistem yang pertama pemerintah lebih banyak menggunakan otoritasnya high authority untuk membeli berbagai komoditi yang diperlukan dan tidak jarang dengan cara-cara paksa. Selanjutnya, pada sistem perkebunan swasta “liberal” terjadi hubungan ketergantungan yang erat antara pusat-pusat perkebunan dengan pusat-pusat metropolitan dengan pasar modalnya. Besarnya aliran investasi yang bebas dan luas menurut catatan Gordon telah menempatkan Belanda sebagai negara investor terbesar nomor 3 tiga di dunia yang sebagian besar investasinya ditanamkan di Hindia Belanda. Liberalisasi perkebunan ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan para pemilik modal perkebunan. Seperti yang dikatakan Pelzer bahwa karena ketergantungan pemerintah Belanda terhadap perkebunan sebagai sumber devisa utama. Menyebabkan Pemerintah Belanda terpaksa menyerah terhadap tuntutan pihak pemilik modal perkebunan Tim Riset Sistematis STPN, 2010 50. Upaya untuk melakukan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda sebenarnya telah berlangsung sejak masa pemerintahan Menteri Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun 1865, Menteri Jajahan Frans van de Putte seorang liberal mengajukan sebuah Rencana Undang-Undang RUU yang menyatakan bahwa 1. Gubernur Jenderal akan memberikan hal erfpacht hak guna usaha selama 99 tahun, 2 Hak milik pribumi akan diakui sebagai hak mutlak eigendom, dan 3 Tanah komunal dijadikan hak milik perorangan sebagai hak mutlak eigendom. Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman bahkan ditentang keras oleh sesama golongan liberal sendiri dengan tokoh utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu, Menteri Jajahan Frans van de Putte akhirnya dijatuhkan dari jabatannya karena dianggap terlalu tergesa-gesa memberikan hak eigendom kepada pribumi. Sampai saat itu tujuan golongan swasta Belanda untuk menamkan modal di bidang pertanian di Hindia Belanda belum tercapai Wiradi, 2000 126-127. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 162 Setelah jatuhnya Menteri Jajahan Frans van de Putte dari tampuk jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Pada tahun 1866/1867, pemerintah jajahan mengadakan penelitian tentang hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Laporan penelitian ini terbit dalam tiga jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 dengan judul Eindresume van het Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op de Grond biasa disingkat Eindresume. Ternyata pemerintah Belanda tidak sabar menunggu hasil penelitian ini. Pada tahun 1870, Menteri Jajahan de Waal mengajukan RUU ke parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini kemudian ditambah 3 ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu diantaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun bukan lagi 99 tahun seperti dalam RUU van de Putte yang sebelumnya ditolak Parlemen. Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini kemudian menjadi Indische Staatsregeling IS yang diundangkan dalam Lembaran Negara Staatsblad No. 188 tahun 1870. Ketentuan-ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya diatur dengan berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit yang diundangkan dalam Staatsblad No. 118 tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch Besluit inilah yang memuat suatu pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domain Verklaring, yang menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak eigendom adalah domain negara domain negara maksudnya milik negara”. Agrarisch Besluit 1870 inilah menjadi tonggak penting swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda Wiradi, 2000 126-127. Undang-undang Agraria yang lahir pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 51 dari Wet op de Indische Staatsregeling, isinya sebagai berikut 1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah, 2. Larangan itu tidak mengenai tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan, 3. Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia atau dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya, 4. Dengan undang-undang akan diberikan tanah-tanah dengan hak HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 163 pakai turun-temurun untuk selama-lamanya 75 tahun, 5. Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia, 6. Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri, atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku untuk itu; semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak, 7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia, 8. Persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing berlaku menurut undang-undang. Seterusnya dalam undang-undang itu termasuk juga hak-hak baru atas tanah, di antaranya disebutkan 1. Pemberian hak erfpacht atas tanah yang berupa hutan belukar; 2. Perlindungan hak rakyat Indonesia atas tanah; 3. Membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya; 4. Persewaan tanah oleh bangsa Indonesia kepada bangsa asing. Maksud yang terkandung dalam undang-undang itu menyatakan 1. Menjamin kepentingan modal besar partikeliryang akan menanamkan modalnya di lapangan pertanian dan perkebunan dengan memberi kesempatan kepada modal besar partikelir untuk mendapatkan tanah dengan jaminan dan perlindungan akan perkembangannya, 2. Melindungi hak milik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemah dari akibat no. 1 di atas, dengan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mendapatkan hak agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat, serta perlindungan dengan Undang-undang agar jangan sampai tanahnya itu gampang jatuh ke tangan orang asing. Isi dua maksud dari Undang-undang di atas sangat bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Dari dua maksud tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu harus mengorbankan salah satu di antaranya. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 164 Keduanya merupakan pilihan yang cukup sulit, ibaratnya memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, kambing perlu hidup dan jangan mati Tauchid, 2009 24-26 Salah satu inti perundangan tersebut, Domein Verklaring, merupakan langkah awal yang radikal dalam mengusahakan sentralisasi penguasaan tanah dan sumber daya lain ke tangan negara secara faktual. Ekonomi Belanda saat itu telah siap untuk ekspansi modalnya secara mendiri, tidak lagi diwakilkan pada negara kolonial seperti sebelumnya, di daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bebas kepemilikan, terutama daerah dataran tinggi, di definisikan sebagai tanah negara dan dapat disewakan pada swasta selama 75 tahun. Di dataran rendah swasta dapat menyewa tanah dari penduduk. Perkebunan tanaman keras bermunculan, dan kawasan tanam paksa seperti daerah tebu sedikit demi sedikit beralih dari negara ke tangan swasta. Intervensi radikal dari negara kolonial ke dalam sistem penguasaan tanah dan produksi masyarakat sejak awal telah berdampak besar pada kehidupan rakyat di desa maupun kelembagaan pemerintahan pedesaan. Penelitian dari pemerintah Belanda sendiri memperlihatkan peningkatan kemiskinan di antara penduduk desa. Studi-studi dari Boeke yang melontarkan pengertian ekonomi dualistik dan statik expansion lepas dari penilaian terhadap pengertian-pengertian di atas mengindikasikan kemandekan ekonomi rakyat. Demikian pun konsep involusi pertanian dari Geertz mengindikasikan berkurangnya tanah bagi petani dan pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi saat itu tidak memungkinkan negara kolonial dan pemodal besarnya saat itu cepat berekspansi keseluruh kawasan Indonesia. Hanya beberapa enklave, seperti Sumatera Timur/Deli, menyaksikan ekspansi kapital dalam bentuk perkebunan-perkebunan tembakau dan berakibat pada penggusuran tanah-tanah penduduk diprakarsai oleh penguasa pribumi yang mempunyai kepentingan sama dengan pekebun-pekebun asing. Di segi lain, ekspansi negara kolonial ini berdampak pada kebutuhan sistem pemerintahan yang langsung. Terutama di Jawa, pemerintahan desa berkembang menjadi bagian integral dari pemerintah pusat kolonial, mengabdi dan loyal pada kepentingan pemerintahan pusat kolonial dan modal besar Shohibuddin, 2012 45-46. Vollenhoven 2013 166-167 menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870 dituangkan rinciannya dalam keputusan-keputusan agraria atau Agrarisch Besluit yang hanya berlaku di Jawa dan Madura. HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 165 Inti dari Agrarisch Besluit dijabarkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan produk-produk selanjutnya berisi perubahan berbagai pasal dari Staatsblad 1870 No. 118 itu. Yang termasuk keputusan agrarian adalah Statasblad 1870 No. 118 Staatsblad 1872 No. 116 Staatsblad 1874 No. 78 Staatsblad 1877 No. 196 dan 270 Statasblad 1888 No. 78 Staatsblad 1893 No. 151 Staatsblad 1893 No. 199 Staatsblad 1896 No. 140 Staatsblad 1904 No. 325 Staatsblad 1910 No. 185 Staatsblad 1912 No. 235 Staatsblad 1916 No. 647 dan 683 Staatsblad 1926 No. 321 Staatsblad 1935 No. 118 jo Staatsblad1937 No. 339 Domeinverklaring dinyatakan dalam Agrarische Besluit Staatsblad 1870 No. 118 dan berlaku untuk Jawa dan Madura. Untuk wilayah di luar Jawa dan Madura secara umum, domeinverklaring dinyatakan dalam Staatsblad 1875 No. 199a. Dan untuk wilayah-wilayah khusus, adalah sebagai berikut Sumatra Staatsblad 1874 No. 94f Manado Staatsblad 1877 No. 55 Kalimantan Selatan/Timur Staatsblad 1888 No. 58 DAMPAK DARI DIBERLAKUKANNYA AGRARISCHE WET 1870 Pada era ini, semua tanah tak bertuan atau tanah kosong dikuasai oleh negara, sehingga negara bertindak sebagai dominum pemilik tanah. Hal ini dimungkinkan supaya negara dapat menjual hak penguasaan tanah kepada swasta. Ketentuan ini dituangkan di dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun 1870 yang mengatur mengenai asas domein verklaring, dengan ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapatdibuktikan dengan hak eigendom-nya adalah domein negara Wodowati, 2014 15. Bertolak dari kepentingan politik keagrariaan Belanda di Hindia Belanda, maka negara harus dijadikan pemilik tanah tertinggi. Dasar pemikirannya adalah karena daerah jajahan telah ditaklukkan secara militer sehingga menjadi daerah taklukkan’ gekongcuesteert gebied maka tanahnya pun menjadi tanah taklukkan’ agri limitati-Lat.. Berdasarkan kenyataan itu, negara bisa menjadi pemilik tanah tertinggi atas tanah taklukkan’. Dasar hukumnya untuk daerah jajahan, kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 Agrarische Besluit 1870 yang merupakan penjelasannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria 1870. Dalam Pasal 1 Agrarische Wet 1870 itu ditegaskan bahwa seluruh tanah adalah milik negara Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 166 landsdomein, kecuali dapat dibuktikan dengan bukti hak milik eigendom’ berdasarkan Pasal 570 KUHPInd. Dengan demikian, struktur kepemilikan tanah di daerah jajahan yang diteruskan oleh pemerintahan negara Hindia Belanda adalah hanya mengenal dua subjek hukum pemegang hak milik eigendom’ atas tanah yaitu negara dan orang sebagai pribadi hukum, seperti tampak dalam Diagram No. 3 berikut. Diagram Struktur pemilikan hak milik eigendom’ di Hindia Belanda Sumber Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870. Diagram no. 3 ini menjelaskan bahwa hak milik tanah yang sah secara hukum hanyalah hak eigendom yang diatur dalam asal 570 BW/KUHPdt. Demikian pula subjek pemegang haknya pun hanya warga negara Belanda dan orang Eropa yang tunduk pada hukum sipil Belanda BW/KUHPdt.. Negara sebagai subjek hukum baik dalam arti corpus comitatus’ maupun corpus corporatum’ adalah pemilik tertinggi’ het hoogste eigenar atas seluruh tanah dalam wilayah Negara. Konsep kepemilikan tertinggi ini pada sistem hukum komon common law system di Amerika disebut right of eminent domein’. Dengan ketentuan ini maka pemerintah Hindia Belanda berhak dengan bebas mengambil kembali tanah miliknya yang dikuasai penduduk Bumiputra. Bila diperlukannya baik untuk keperluan negara maupun untuk diberikan kepada pengusaha swasta Belanda bagi pengembangan usaha pertanian atau perkebunan. Karena sebelum VOC sampai terbentuknya pemerintahan Negara Belanda sudah ada penduduk-penduduk Indonesia yang menduduki dan menguasai tanah berdasarkan Hukum Adat mereka. Maka konsep tanah milik negara itupun lalu dibedakan antara tanah milik negara yang bebas vrij landsdomein dan tanah negara yang tidak bebas onvrij landsdomein. Tanah milik negara bebas adalah tanah-tanah milik negara yang tidak dilekati oleh hak-hak orang Bumiputra dengan hukum adatnya. Sebaliknya tanah negara tidak bebas adalah tanah milik negara yang diduduki dan dikuasai oleh orang Bumiputra berdasarkan hukum adat HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 167 mereka, sehingga hak adat orang Bumiputra masih melekat pada tanah milik negara Soesangobeng, 2012 87-89. Politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mempunyai pengaruh besar pada eksistensi tanah ulayat adalah diundangkannya Agrarisch Wet 1870 Stb. 1870 No. 15527, dengan peraturan pelaksanaannya Agrarisch Besluit 1870, yang memberlakukan asas domein dalam sistem penguasaan tanah. Pasal 1 AB 1870 berbunyi “Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waaropniet door anderen recht van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein milik negara. Pemberlakuan asas domein merupakan ide kaum kapitalis Belanda untuk mempermudah perolehan erfpacht dan opstal, sebab, menurut KUH Perdata, hanya pemilik eigneaar yang dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada pihak lain. Dalam Agrarisch Wet, pemerintah bukan pemilik tanah sehingga berdasarkan asas domein, negara adalah pemilik semua tanah kecuali yang bisa dibuktikan sebagai eigendom dan agrarische eigendom”. Domein Verklaring mengakibatkan tersubordinasinya sistem hukum asli Indonesia. Kata eigendom dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut menimbulkan 3 tiga interpretasi Pertama, tanah eigendom dapat diartikan menjadi tanah yang dalam hukum perdata disebut sebagai hak kepemilikan eigendom dan agrarisch eigendom. Kedua, karena eigendom dapat diterjemahkan sebagai kepemilikan, ini dapat berarti tanah dalam segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan, tetapi tidak termasuk hak kepemilikan komunal masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak kepemilikan dalam hukum perdata dan hak-hak adat yang setara dengan kepemilikan termasuk hak ulayat. Pada praktiknya, interpretasi pertama yang dipakai Sembiring, 2018 88-90. KAKAKTERISTIK PERKEBUNAN SWASTA BERDASARKAN AGRARISCHE WET 1870 Sistem perkebunan besar mulai hadir di Indonesia sebagai akibat politik liberal pemerintah kolonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula Suiker Wet 1870 menjadi landasan mulai dibukanya perkebunan swasta di Pulau Jawa. Dibukanya Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 168 perkebunan swasta menandai dimulainya kebijakan kolonial yakni dimulainya periode liberal 1870-1900. Sebelumnya monopoli pemerintah terhadap tanaman ekspor secara bertahap dihapuskan sejak 1860-an. Pertama kebijakan ini diberlakukan terhadap tanaman yang tidak menguntungkan dan terakhir tebu akhirnya berakhir pada 1890 serta kopi daerah terakhir yang menerapkan tanam paksa kopi baru ditutup pada 1919. Periode liberal bertepatan dengan ekspansi kekuasaan Belanda di luar Jawa. Eksploitasi perdagangan di pulau-pulau lainnya berlangsung selama abad ke-20. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19 produk-produk dari pulau-pulau di luar Pulau Jawa sudah masuk dalam kalkulasi perdagangan Belanda Ricklefs dkk, 2013 335-336 ; Kahin, 2013 16-17. Karakteristik sistem produksi perkebunan swasta pada masa ini umumnya mempunyai empat atribut yang melekat padanya, yaitu pertama, berorientasi ekspor dalam skala besar; kedua, kebutuhan tenaga kerja sangat besar dibanding dengan yang dapat tersedia oleh pasar tenaga kerja domestik yang bebas; ketiga, diperlukan mekanisme ekstra-pasar pemaksaan oleh aparatur pemerintah guna memenuhi kebutuhan tersebut dan mekanisme ini sangat dominan dalam menentukan hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat; dan keempat, tumbuh budaya tertentu yang memperkuat hubungan-hubungan sosial yang terbentuk itu Wiradi, 2009 60. Selain itu, berbeda dari kebijakan cultuurstelsel yang bertumpu pada dan memanfaatkan sistem desa. Agrarische Wet 1870 sebaliknya hendak melepaskan tanah dari ikatan-ikatan komunalnya pada desa dan membebaskan warga dari kerja wajib kepada desa. Pemerintah kolonial juga mengakui hak milik warga atas tanahnya dan melarang perpindahan hak milik itu kepada orang-orang asing. Namun, tujuan yang lain di balik itu sebenarnya adalah untuk memungkinkan pengusaha partikelir dapat menguasai tanah-tanah di luar tanah negara, yakni tanah-tanah garapan penduduk karena sekaligus akan dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal ini dilakukan melalui kontrak sewa tanah kepada para petani pemiliknya dan merekrut mereka sebagai tenaga kerja perkebunan melalui sistem upahan Shohibuddin, 2010 36-37. PERKEMBANGAN PERKEBUNAN SWASTA DI JAWA Agrarische Wet 1870 Undang-Undang Agraria memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha investor. Undang-undang ini menekankan pribumilah yang dapat memiliki tanah. Namun, orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 169 pemerintah selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun tergantung persyaratan pada hak pemilikan tanah. Perkebunan swasta pasca diberlakukannya Agrarische Wet 1870 dapat berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869 dan perkembangan pelayaran dengan kapal uap sebagian berada di tangan orang-orang Inggris dalam waktu yang kira-kira sama mendorong lebih lanjut perkembangan swasta dengan semakin membaiknya sistem perhubungan dengan Eropa Ricklefs, 2008 271. Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda terjadi antara 1870 dan 1920, terutama gula dan tebu di Jawa termasuk juga teh dan kopi dan kemudian karet dan kelapa sawit di Sumatera. Dalam kurun waktu ini, industri pertanian atau perkebunan di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang sangat pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I Padmo, 199127. Pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 di Pulau Jawa pemanfaatan lahan dimaksimalkan dengan sebaik mungkin. Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, perusahaan perkebunan menanam tebu, kakao, dan tembakau Oudejans, 1999 25-26. Perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan di Pulau Jawa adalah perkembangan dalam industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Dalam tahun 1870 luas tanah di Pulau Jawa yang ditanami gula berjumlah bahu. Sedangkan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat menjadi bahu. Di pihak lain, produksi gula meningkat lebih pesat lagi, yaitu dari pikul dalam tahun 1870 meningkat menjadi pikul dalam tahun 1900. Demikian pula perkebunan-perkebunan teh mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah perusahaan- Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 170 perusahaan perkebunan mulai ditanam dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain yang mengalami kenaikan dalam produksi adalah tembakau. Jauh sebelumnya tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Selama zaman liberalisme, pengusaha-pengusaha Belanda mendirikan pula perkebunan-perkebunan tembakaudi sekitar Basuki Jawa Timur yang kemudian mengalami perkembangan pesat. Perkebunan-perkebunan di Basuki tersebut bekerja sama erat dengan penduduk sekitar yang juga menanam tembakau yang kemudian disortir dan diolah selanjutnya di perkebunan-perkebunan besar. Di samping itu modal dan usaha Belanda mendirikan perkebunan-perkebunan tembakau yang besar di sekitar Deli Sumatera Timur. Tanaman-tanaman dagang lainnya yang dihasilkan perkebunan-perkebunan besar yang juga mengalami perkembangan pesat adalah kopi dan kina. Selama masa ini Hindia Belanda menjadi penghasil kina paling terkemuka di dunia karena hampir 90% kina yang digunakan di dunia pada waktu itu berasal dari perkebunan-perkebunan kina di Jawa. Di pihak lain, kopi tidak mengalami perkembangan begitu pesat selama seperti selama sistem tanam paksa berlaku Poesponegoro, 2008 377. Daerah-daerah utama penghasil gula di Pulau Jawa ada di Pantai Utara Jawa yang memiliki sistem pengairan sawah yang sangat baik, yaitu antara Keresidenan Cirebon sampai Semarang, kemudian di Selatan Gunung Muria hingga Juwana. Kemudian daerah kesultanan varstenlanden termasuk produsen gula yang baik pula. Menyusul setelah itu keresidenan Madiun, Kediri, dan Basuki di Jawa Timur. Selain itu, wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan daerah-daerah Surabaya hingga Jombang di Pantai Utara Jawa juga termasuk produsen gula utama Jawa Leirissa, 2012 65. Adapun perkembangan ekspor Hindia Belanda tahun 1874-1914 dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa terjadi perkembangan luar biasa ekspor Hindia Belanda pada periode tahun 1874-1914. Sebagai suatu catatan, perlu diingat bahwa setelah 1885 perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan seret diakibatkan jatuhnya harga gula dan kopi di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula di pasar dunia diakibatkan di Eropa mulai dilakukan penanaman gula bit beet sugar sehingga mereka tidak perlu lagi mengimpor dari Hindia Belanda. Pada tahun 1891 harga tembakau di pasar internasional juga jatuh sehingga mengancam kelangsungan hidup HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 171 perkebunan-perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Tabel Ekspor Hindia Belanda, 1874-1914 dalam jutaan Gulden Gula Kopi Teh Rempah-Rempah Tembakau Kopra Timah Minyak Bumi Karet Asal Jawa+Madura Luar Jawa Hindia Belanda 50 68 3 6 11 0 5 0 0 144 25 169 183 23 27 14 64 61 41 137 27 360 324 685 +266 -66 +800 +133 +482 + 720 ++ ++ +150 + +305 Sumber Van Zanden & Marks 2012, h. 85 dalam Boediono 2016 53 Krisis perdagangan tahun 1885 juga ikut memukul bank-bank perkebunan cultur banken yang meminjamkan uang ke berbagai perusahaan perkebunan. Akibat jatuhnya usaha perkebunan, maka secara otomatis ikut jatuh pula bank-bank perkebunan. Selain itu, krisis perdagangan pada tahun 1885 mengakibatkan terjadinya reorganisasi dalam kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi sebagai usaha milik perseorangan. Akan tetapi, direorganisasi menjadi perseroan-perseroan terbatas. Pemimpin perkebunan bukan lagi pemiliknya secara langung tetapi oleh seorang manajer. Artinya seorang yang digaji dan langsung bertanggungjawab kepada direksi perkebunan yang biasa dipilih dan diangkat oleh pemilik saham. Begitu juga dengan bank perkebunan cultur banken juga tetap melanjutkan usahanya sebagai pemberi kredit kepada perkebunan-perkebunan. Namun, setelah krisis 1885 mereka pun juga mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar tersebut. Pada akhir abad ke-21 terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia Belanda. Sistem liberal murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan suatu tata ekonomi yang lebih terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan finansial dan industrial di negeri Belanda. Kewenangan-kewenangan tidak lagi diberikan kepada pemimpin perkebunan-perkebunan besar Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 172 yang berkedudukan di Jawa Daliman, 2012 52-53. PENUTUP Simpulan Perkembangan sistem perkebunan di Hindia Belanda tidak lepas dari pasang-surutnya dinamika ekonomi-politik di negeri Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda, di Hindia Belanda pada waktu itu dikenal dua sistem perkebunan yang menonjol, yaitu sistem perkebunan “negara” 1830-1870 dan sistem perkebunan swasta “liberal” pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870. Perkembangan swastanisasi perkebunan di Hindia Belanda mendapatkan momennya sejak diberlakukannya Agrarische Wet Wet 1870 menjadi landasan yuridis-formil masuknya investasi asing dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Pemodal swasta diberikan hak erfpacht hak guna usahaselama 75 tahun oleh pemerintah Belanda untuk membuka lahan perkebunan baru di Hindia Belanda. Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunanpasca pemberlakuan Agrarische Wet 1870 mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Khusus di Pulau Jawa, perkembangan paling mencolok dari swastanisasi perkebunan adalah perkembangan pesat industri gula barang dagangan penting dari Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah besar. Perkebunan-perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya dapat mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktifitas produksinya. Misalnya dalam hal perkebunan gula, perluasan lahan produksi dan kemajuan teknik produksi yang diintroduksi dalam industri ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat. Meskipun di sisi lain terjadi penurunan setelah resesi 1884-1885, dengan perbaikan yang terjadi secara lambat pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan prosfek perkebunan di Hindia Belanda terus berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia I. Saran Penelitian mengenai sejarah sosial ekonomi di Indonesia sangat menarik. Banyak sekali objek kajian yang bisa dikaji, terutama mengenai kondisi sosial ekonomi Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda. Salah satunya ialah penelitian ini yang membahas konsep dan dampak penerapan Agrarische Wet 1870 terhadap perkembangan perkebunan di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Agrarische Wet 1870 inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang utama swastanisasi perkebunan di Indonesia jelas berpengaruh besar terhadap HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 2 2019 ISSN 2337-4713 E-ISSN 2442-8728 DOI 173 perubahan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Pulau Jawa pada saat itu dan masa sekarang. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodelogi Penelitian Sejarah Islam. Yogyakarta Ombak. Achdian, Andi. 2008. Tanah Bagi yang Tak Bertanah Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin. Bogor Kekal Press. Anggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Mizan. Daliman, A. 2012. Sejarah Indonesia Abad XIX-Awal Abad XX Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda. Yogyakarta Ombak. Kahin, George McTuran. 1952. Nationalism and Revolutin in Indonesia. 2013. Terjemahan oleh Tim Komunitas Bambu. Jakarta Komunitas Bambu. Leirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Ombak. Marzuki, Yas. 2004. Metodelogi Penelitian Sejarah dan Historiografi. Palembang Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Oudejans, Jan 1999. Development of Agriculture in Indonesia. 2006. Terjemahan oleh Edhi Martono. Yogyakarta Gadjah Mada University Press. Padmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Media. Poesponegoro, Marwati Djoened., dan Notosoesanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta Balai Pustaka. Rachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA. Ricklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Semesta. Ricklefs, Merle Calvin dkk. 2013. Sejarah Asia Tenggara Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer. Jakarta Komunitas Bambu. Salim, M. Nazir dkk. 2014. Dari Dirjen Agraria Menuju Kementrian Agraria Perjalanan Kelembagaan Agraria, 1948-1965. Yogyakarta STPN Press. Sembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad Ed.. 2012. Pembentukan Kebijakan Reformasi Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta STPN Press. Shohibuddin, Mohamad., dan Luthfi, Ahmad Nashih. 2010. Land Reform Lokal A La Ngandagan Inovasi Sistem Tenurial Adat Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Yogyakarta STPN Press. Soesangobeng, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori, dan Agraria. Yogyakarta STPN Press. Penerapan Agrarische Wet Undang-Undang Agraia 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174 DOI 174 Tauchid, Muchammad. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta STPN Press. Vollenhoven, Cornelis van. 1923. De Indonesier en Zijn Ground. 2013. Terjemahan oleh Soewargono. Yogyakarta STPN Press. Wiradi, Gunawan. 2000. Reformasi Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta INSIST Press. Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Yogyakarta STPN Press. Wodowati, Dyah Ayu dkk. 2014. Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan. Yogyakarta STPN Press. Tim Riset Sistematis STPN. 2010. Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadialan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat, dan Keberlanjutan Ekologis. Yogyakarta STPN Press. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi selama periode 1947-1964 dan dampak jangka panjangnya. Di buku ini diuraikan profil kebijakan land reform lokal berbasis inovasi sistem adat sebagai jawaban atas proses diferensiasi agraria yang terjadi di desa ini. Melalui pengalaman pelaksanaan land reform di desa ini kita ditunjukkan inovasi kebijakan yang didasarkan pada kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat yang bertujuan mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan produksi yang adil, sekaligus pada saat yang sama tafsir dan praktik lokal atas kebijakan nasional land reform yang lebih sesuai dengan kondisi dan tuntutan setempat. Hal ini berhasil diwujudkan oleh komunitas desa Ngandagan berkat kepemimpinan lokal yang kuat. Buku ini bukan saja berhasil merekonstruksi sejarah pelaksanaan land reform lokal sekian dekade lalu, tetapi juga memaknainya dalam konteks kekinian. Mohamad ShohibuddinG. WiradiBuku ini menghimpun tulisan-tulisan berserak Gunawan Wiradi mengenai seluk beluk masalah agraria, penelitian agraria dan reforma agraria. Dalam buku ini, Gunawan Wiradi dengan bahasa yang mudah dicerna berhasil menempatkan tantangan Reforma Agraria dalam suatu konteks permasalahan yang dari segi waktu terentang mulai dari masa kolonial hingga era mutakhir, dan dari segi ruang tergelar mulai dari aras mikro seperti desa Ngandagan hingga pata tatanan yang lebih kompleks di aras dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan AgrariaGita AnggrainiAnggraini, Gita. 2016. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidak Adilan Agraria. Yogyakarta STPN Indonesia Dalam Lintasan SejarahBoedionoBoediono. 2016. Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah. Bandung Perekonomian IndonesiaR LeirissaLeirissa, dkk. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta Kajian Sosial EkonomiSoegijanto PadmoDjatmiko DanPadmo, Soegijanto., dan Djatmiko, Edhie. 1991. Tembakau Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta Aditya Reform Dari Masa Ke MasaNoer RachmanFauziRachman, Noer Fauzi.2012. Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria KPA.A History of Modern Since c. 1200 Fourth EditionMerle RicklefsCalvinRicklefs, Merle Calvin. 1981. A History of Modern Since c. 1200 Fourth Edition. 2008. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta Serambi Ilmu Pengaturan dan Permasalahan Tanah UlayatJulius SembiringSembiring, Julius. 2018. Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat. Yogyakarta STPN Press.
  • Лαтаጵ ищиժ сн
  • ኼդιж улувсι
Pemilikantanah di daerah swapraja di jawa disimpulkan Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 oktober hingga 22 oktober 1740, sedangkan. Sejarah Masa Penjajahan Inggris Di Indonesia 1811 1816 from tanggal 14 agustus 1925, berdasarkan keputusan gubernur 2018/12/25 · 5) pemungutan pajak sewa tanah dilakukan per kepala. ArticlePDF AvailableAbstractIntroductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 62 Lisensi Creative Commons Atribusi-NonCommercial Internasional Hak Milik Atas Tanah Adat Di Wilayah Kepulauan Mispa Christian Science Paisina 1, Adonia Ivone Laturette 2, Novyta Uktolseja 3 1,2,3 Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia. paisinamispa xxxxxxxxxxxxxxxx Keywords Right of Ownership; Indigenous Peoples; Customary Land. Introductioan The Western Seram Islands have various customary rights that grow and develop in the lives of indigenous peoples and it becomes a rule that is believed by them, so that it becomes a law that binds them in determining their ownership rights to their customary land. Purposes of the Research This study aims to determine how the position of customary land ownership rights in the national land law system, and what is the legal basis and the way in which customary land ownership rights occur according to customary law. Methods of the Research This study uses the normative legal research method, which aims to find out how the position of ownership rights over customary land in the national land law system in the areas of Taniwel Timur, Negeri Maloang and Negeri Sohuwe, West Seram Regency, Maluku Province, and to understand what the legal basis and How to Have Land Ownership Rights According to Customary Law in the Taniwel Timur District, Maloang State and Sohuwe State, West Seram Regency, Maluku Province. Results of the Research In principle, ownership of land rights by a member or group of customary law communities, whether individual or communal / group, has a very binding power de jure and de facto. The principle of ownership in the provision of de jure guarantees in the sense that the customary law community recognizes that if ownership rights are obtained by means of the permission of the head of the association Kepala Adat or Kepala Soa, to open and manage land for customary law communities it can be said to be a legal act that is legal according to law. adat as long as it does not contradict the prevailing customary law norms, and the principle of ownership in a de facto manner, namely that the principle of ownership has been obtained from generation to generation. This is what the local government must pay attention to in terms of recognition of rights by customary law communities in West Seram District, Maluku Province. Kata Kunci Hak Milik; Masyarakat Adat; Tanah Adat. Latar Belakang Kepulauan Seram Bagian Barat terdapat berbagai hak adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat hukum adat dan itu menjadi sebuah aturan yang diyakini oleh mereka, sehingga menjadi suatu hukum yang mengikat mereka dalam menentukan hak milik atas tanah adat mereka. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasiona, dan apa landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah adat menurut hukum adat. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bertujuan Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hak milik atas tanah adat dalam sistem hukum tanah nasional di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Pattimura Magister Law ReviewVolume 1 Nomor 2, September 2021 h. 62 – 72 E-ISSN 2775 - 5649 E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 63 Negeri Sohuwe, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan Untuk memahami apa yang menjadi landasan hukum dan cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Hasil Penelitian Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa, untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma – norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun – temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. 1. Pendahuluan Keberadaan masyarakat hukum adat merupakan bagian dari keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Masyarakat hukum adat merupakan unsur esensial masyarakat hukum nasional dalam lingkup negara Republik Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk plural terdiri atas ratusan suku bangsa, bahasa, dan lingkungan masyarakat adat yang tersebar di ribuan pulau besar dan pulau kecil. Pada sebaran pulau besar dan pulau kecil inilah hidup masyarakat adat yang memiliki norma hukum tersendiri. Masyarakat adat yang merupakan lingkungan masyarakat yang masih sederhana dan melekat dengan alam di sekitar hutan menjadi bagian penting dari keberadaan bangsa kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, untuk mempertahankan kehidupannya, mereka selalu bergantung kepada keberadaan tanah yang dianggap sebagai sumber penghidupan, atau dengan kata lain tempat berkembang biakan semua mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu tanah bagi masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku adalah suatu benda yang harus dijaga, dilestarikan, diamankan dengan demikian akan menjadi hak miliki mereka sendiri untuk kelangsungan hidup mereka. Didalam Undang – Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 3 Bahwa “Pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak yang serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas Hendra Nurtjahtjo and Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi Jakarta Salemba Humanika, 2010, h. 3. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 64 persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang – undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi”. Sejalan dengan itu maka tanah sebagai objek lahan pengelolaan sumber daya alam mempunyai arti yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dan pembangunan sebagai sarana utama. Tanpa tanah tidak mungkin ada pembangunan infrastruktur, industry, perumahan, pariwista maupun perkebunan yang skala besar. Sebagian besar kehidupan masyarakatr hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohhuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, sangat bergantung pada tanah. Dalam lingkungan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, tanah sangat istimewa kedudukannya, sebagai tempat mendirikan bangunan, tempat memberi makan, tempat mereka dikuburkan, mempunyai nilai spiritual dimana mereka dapat berhubungan dengan leluhurnya, karena pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah kepulauan Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, pemilikan hak atas tanah sesuai pula dengan kodrat hakikat manusia. Manusia pada hakikatnya besifat privat dan kolektif. Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf ulung Abad Pertengahan mengatakan manusia menurut kodratnya bersifat individual dan sosial. Itulah sebabnya dalam pemilikan atas suatu benda, termasuk pemilikan atas tanah, kedua dimensi tersebut bisa terpadu secara berbeda halnya dengan terjadinya hak milik berdasarkan hukum adat yang hingga saat ini belum ada peraturan pemerintah yang diamanatkan pada Pasal 22 ayat 1 UUPA untuk mengatur mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat tersebut, untuk itu Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat secara normative harus membuat sebuah legalitas pengakuan tentang perlindungan terhadap hak milik atas tanah adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Pokok Agraria Pasal 22 ayat 1 yang berbunyi “terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Sehingga hal ini tidak berpotensi menimbulkan multi tafsir mengenai hal tersebut yang cenderung berpotensi menimbulkan dampak negative bagi warga masyarakat hukum adat Kabupaten Seram Bagian Barat terkhusus masyarakat hukum adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur, Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe dalam hal menguasai tanah berdasarkan hukum adat yang sudah menjadi landasan hukum dalam kehidupan sehari – hari secara turun - temurun. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian mengenai apa yang menjadi landasan hukum bagi masyarakat hukum adat di wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe terkait dengan hak milik atas tanah adat, yang secara normative belum ada pengakuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Dan bagaimana cara terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat selama peraturan pememerintah Kabupaten Seram Bagian Barat yang Adonia Ivone Laturette, “Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional” Universitas Airlangga, 2011, h. 1. Sony A Keraf, Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi Yogyakarta Kanisius, 2001, h. 23. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 65 dimaksud belum lahir, serta bagaimana kedudukam hak milik yang terjadi berdasarkan hukum adat dalam sistem hukum tanah nasional. 2. Metode Penelitian Penelitian hukum yang dipakai oleh penulis berdasarkan permasalahan yang diteliti adalah penelitian dengan metode penelitian hukum “normative”. Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum keputusan adalah metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif norma hukum yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahap kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subyektif hak dan kewajiban. Sehingga dapat mengetahui kedudukan wilayah petuanan masyarakat adat di wilayah kepulauan terkhusus kepulauan Seram Bagian Barat, Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, dalam aspek yuridis. Barkaitan dengan permasalahan dan tujuan dari penelitian ini, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif, asas – asas hukum, prinsip – prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Olehnya itu, penelitian ini selain utamanya mengkaji ketentuan – ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum akan tetapi juga menggunakan sedikit kajian hukum “Yuridis/sosiologis” yang bertujuan untuk mengkontruksikan tata hukum adat agar dapat mencari fakta dan pembenaran yuridis masalah atas permasalahan hukum, sehingga hasil yang akan dicapai kemudian memberikan persepsi mengenai apa yang seyogyanya atas permasalahan hukum dari penelitian yang dilakukan. Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Macam-macam pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalahPendekatan Undang-Undang Statute pproach, Pendekatan historis Historical approach, Pendekatan kompratif Commparative approach, Pendekatan konseptual Conseptual approach. 3. Hasil dan Pembahasan Kedudukan Hak Milik Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Hukum Tanah Nasional Hukum Agraria Nasional bersumberkan pada hukum adat, dalam sistem hukum adat dikenal ada dua macam hak atas tanah yaitu Soerjono Soekanto and Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta Raja Grafindo Persada Jakarta Rajawali Pers, 2015, h. 13-14. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta Kencana, 2016, h. 93. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 66 1 Hak atas tanah yang dikuasai secara bersama oleh suatu masyarakat adat, yang dalam istilah teknis yuridis disebut hak ulayat. 2 Hak tanah yang dikuasai secara perorangan. Hak ulayat merupakan hak masyarakat hukum adat atas segala sumber daya agrarian bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak ulayat lahir bukan karena diciptakan oleh putusan pejabat tetapi tumbuh dan berkembang serta juga dapat lenyap sesuai dengan keberadaan dan perkembangan kehidupan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat – syarat tertentu, yaitu, eksistensi dan mengenai pelaksanaanya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah – daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak dihidupkan kembali. Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrakan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang – Undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum Angka H/3 disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas”. Ada banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agrarian nasional, yang tentu saja dapat menimbulkan konflik yang cukup serius. Dalam pembentukan UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga – lembaga hukum adat dan kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatur bahwa“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan dengan peraturan perundang perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang berdasarkan pada hukum agama”. Lebih dari itu, dalam mukadimah UUPA 1960 dinyatakan“Bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan – pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur – unsur yang berdasar pada hukum agama”. A P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria Bandung Mandar Maju, 2008, h. 24. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 67 Landasan Hukum dan Cara Terjadinya Hak Milik Atas Tanah Adat Menurut Hukum Adat Indonesia sebagai Negara Agraria pertanian yang mempunyai sumber alam yang melimpah, akan tetapi kekayaan yang demikian besar sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa itu belum dapat dinikmati oleh rakyat, nampaknya kekayaan alam itu dimiliki oleh sebagian kecil orang Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 adalah Negara hukum konstitusional yang memberikan jaminan dan memberikan perlindungan atas hak-hak warga Negara, antara lain hak warga Negara untuk mendapatkan, mempunyai, dan menikmati hak milik. Hak milik atas tanah sebagai salah satu jenis hak milik, sangat penting bagi Negara, bangsa, dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat agraria. Hak milik sebagai suatu lembaga hukum dalam hukum tanah telah diatur baik dalam hukum tanah sebelum UUPA maupun dalam UUPA. Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Poko Agraria menyebutkan bahwa terjadi hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 22 disebut “sebagai missal dari cara terjadi hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai terjadinya hak milik menurut hukum adat dimaksudkan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum dan Negara. Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya di sebut UUPA tersebut hingga saat ini belum lahir sehingga belum mempunyai dasar hukum berupa ketentuan perundang-undangan mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat namun tidak berarti bahwa terjadinya hak milik menurut hukum adat tidak mempunyai landasan hukum. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria selanjtunya disebut UUPA disebutkan bahwa hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sasialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Oleh karena itu dalam hal belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara terjadinya hak milik menurut hukum adat maka yang berlaku adalah hukum adat itu sendiri yang tentunya dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 5 UUPA. Cara Terjadinya Hak Milik Atas tanah Adat Menurut Hukum Adat Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 tiga cara sebagaimana diatur dalam pasal 22 UUPA yaitu 1 Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat. 2 Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah. Suryani Sappe, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja, “Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa,” Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78–92, E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 68 3 Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan undang – undang. Namun dalam penelitin ini, penulis lebih memperhatikan hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, terjadi hak milik atas tanah adat di wilayah Kecamatan Taniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, berawal dari peperangan yang terjadi pada jaman dahulu yang mana terjadi peperangan itu karena terjadi perebutan wilayah kekuasan antara persekutuan masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang lain bukan yang berasal dari satu lingkungan persekutuan masyarakat adat demi tempat tinggal dan untuk kelangsungan hidup mereka. Dengan demikian siapa yang kuat dalam peperangan tersebut akan menguasai dan memiliki wilayah termasuk tanah yang sangat luas sesuai dengan batas kekuasaan berperang. Sebuah peristiwa yang terjadi jaman dahulu tumbuh dan terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat adat, dan lahir menjadi suatu peristiwa hukum berdasarkan kebiasaan masyarakat adat, maka di jadikan sebagai suatu aturan hukum bagi masyarakat adat yang mereka yakini dan percayakan sebagai hukum dalam persekutuan masyarakat adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe sampai saat ini, terkait dengan hak milik atas tanah adat yang awal mulanya lahir dari hasil peristiwa peperangan antara sesama kelompok persekutuan masyarakat adat pada jaman dahulu. Hak milik adat secara original tumbuh dan berkembang dari hak yang paling rendah tingkatannya, yaitu hak menandai tanah atau hutan. Pertumbuhan perkembangan hak tersebut berlangsung berdasarkan kaedah – kaedah hukum setempat. Dalam hukum tanah adat pulau Seram Kabupaten Seram Bagian Barat Kecamatan Tiniwel Timur Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe, hak milik tumbuh dan berkembang dengan tahapan sebagai berikut a Hak milik tanah Soa. b Hak milik tanah Marga. c Hak milik tanah Negeri. d Hak milik tanah Perseorangan / individu. Penelitian ini penulis lebih mendepankan hak milik komunal atau hak milik bersama antara persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri, setiap warga masyarakat hukum adat dapat dengan bebas menggunakan tanah sesuai dengan hak yang telah disepakati bersama dalam kelompok persekutuan masyarakat hukum adat di negeri Maloang dan negeri Sohuwe Kecamatan Taniwel Timur Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Bagi anggota persekutuan yang bukan berasal dari kedua negeri ini tidak berkenaan untuk memiliki hak atas tanah yang dimilik oleh persekutuan masyarakat hukum adat di kedua negeri ini, namun apabila diberi ijin oleh kepala adat, raja negeri dan masyarakat adat maka dia bisa menggunakan tanah tersebut untuk bercocok tanam atau membuka usaha di tanah tersebut, namun satatus tanah yang di gunakan hanyalah sebagai hak pakai bukan menjadi hak milik karena tanah u=yang digunakan berstatus hak milik tanah adat, dan apabila dikemudian hari dikembalikan oleh lembaga adat maka mereka harus mengembalikannya kepada lembaga adat tanpa meminta pergantian kerugian kepada E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 69 lembaga adat. Adapu tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat di gunakan untuk berkebun, dan di sewakan. Menurut Maria Sumardjono mengatakan hak ulayat sebagai istilah teknik yuridis adalah hak yang lekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang / kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya, dengan daya berlaku ke dalam dan keluar. Adapun hukum tanah adat sendiri adalah keseleruhan ketentuan – ketentuan hukum, ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak – hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga – lembaga hukum dan sebagai hubungan – hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi suatu kesatuan yang merupakan satu sistem Tanah-tanah yang sudah di tetapkan berdasarkan kesepakatan bersama oleh Kepala Adat, Kepala Soa, dan Masyarakat Hukum Adat, tidak dapat dibatalkan lagi. Karena menurut aturan adat yang mereka yakini bahwa sesuatu yang sudah di putuskan atau sudah di sepakati bersama dalam pertemuan adat, sudah menjadi ikatan dan tidak dapat di batalkan dan di langgar oleh siapapun, dengan demikian maka tanah yang sudah di tetapkan dapat menjadi hak milik persekutuan masyarakat hukmum adat, dan tanah – tanah tersebut diberi tanda batas. Benda – benda yang digunakan sebagai tanda batas yaitu 1 Gunung. 2 Batu besar. 3 Pohon kayu yang besar. 4 Air atau kali. Setiap tanah-tanah yang sudah diberikan tanda batas oleh persekutuan masyarakat hukum adat, batas tersebut tidak dapat dilewati oleh anggota persekutuan masyarakat lainnya, dan apabila di lewati batas yang sudah di berikan tanda, maka anggota persekutuan masyarakat hukum adat akan mendapat sanksi sesuai dengan aturan adat mereka. Bagi masyarakat hukum adat dapat dengan bebas mempergunakan tanah adat namun tidak dimiliki secara individu. a. Hak Milik Tanah Soa. Tanah Soa ini dimiliki oleh beberapa marga yang tergabung dalam soa tersebut, misalnya di desa Sohuwe Soa Latu ini terdiri dari beberapa marga yaitu, marga Sea, marga Latununuwe, dan beberapa marga pendatang yang kawin masuk ke negeri. Secara hak milik atas tanah adat di negeri ini, yang berhak atas tanah tersebut hanya meraka yang berada dalam persekutuan soa ini saja, tidak diperbolehkan maraga lain yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut masuk untuk memiliki tanah dalam persekutuan mereka, dengan demikian tanah milik soa hanya dapat di miliki oleh anggota persekutuan saja, tidak bisa di milik oleh anggota yang bukan berasal dari persekutuan soa tersebut. Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi Jakarta Kompas, 2001, h. 55. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 70 Antara persekutuan dengan tanah yang mendudukinya itu hubungan yang erat sekali, hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan anggota persekutuan masyarakat hukum adat memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. b. Hak Milik Tanah Marga Tanah marga hanya di milik oleh marga – marga tertentu yang secara keturunan dia berasal dari marga tersebut. Tanah marga juga bisa dimiliki oleh anggota dari persekutuan soa, misalnya dalam soa latu atau soa besar terdapat marga marayate atau latununuwe, kedua marga tersebut juga bisa memiliki hak atas tanah adat yang berada dalam persekutuan marga. Untuk itu, tanah marga juga bisa di miliki oleh anggota persekutuan soa lain yang berstatus marganya yang sama. c. Tanah Negeri atau Tanah Dati Tanah ini di pergunakan untuk kepentingan bersama misalnya, ada seorang wanita atau pria yang kawin masuk mereka akan di ijinkan untuk menggunakan tanah negeri sebagai lahan bercocok tanam, namun kesemuaannya itu harus dengan ijin dari kepala adat, saniri negeri, raja negeri dan masyarakat setempat, tetapi tidak bisa di ambil sebagai hak miliknya, hanya bersifat hak pakai . Hak negeri atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Seperti apa yang di amanatkan dalam pasal 6 Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi social”. d. Tanah Perorangan / Individu Tanah milik perorangan ini lahir dari tanah marga, yang mana secara adat tanah tersebut sudah di berikan kepada seseorang dari marga tersebut untuk di miliki secara pribadi. Tanah milik perorangan ini juga lahir dari jual beli tanah adat antara masyarakat hukum adat dan juga masyarakat yang bukan masyarakat hukum adat setempat. Hak milik atas tanah dari seseorang masyarakat hukum adat yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah, bahwa warga yang mendiami tanah itu berhak sepenuh-penuhnya atas tanahnya tetapi dengan ketentuan wajib menghormati hak ulayat negerinya, di pandang dari perspektif hukum adat setempat. Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan Pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Seorang warga persekuatan masyarakat hukum adat dari kedua negeri tersebut berhak untuk membuka lahan dan mengerjakan lahan itu terus-menerus dan menanam tanaman di atas tana tersebut sehingga sehingga ia mempunyai hak pakai atas tanah. Hak pakai ini dapat diperoleh meskipun hak Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif Malang Malang Bayu Media Publishing, 2006, h. 307. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 71 mengerjakan tanah itu praktis walaupun bertahun-tahun tidak menjadi persoalan bagi persekutuan masyarakat hukum adat. Tanah adat yang berada dalam penguasaan dan kepemilikan secara komunal diatur sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah hukum adat. Tanah petuanan adalah hak negeri terhadap seluruh petuanan dan merupakan hak atas tanah menurut hukum adat. Oleh karena itu semua anak negeri mempunyai hak untuk mempergunakan dan memanfaatkannya sebagaimana metinya berdasarkan ketentuan – ketentuan adat di kedua Negeri tersebut Negeri Maloang dan Negeri Sohuwe. Pada prinsipnya kepemilikan hak atas tanah oleh suatu anggota atau kelompok masyarakat hukum adat baik bersifat individu maupun bersifat komunal / kelompok mempunyai kekuatan yang sangat mengikat secara de jure maupun secara de fakto. Prinsip kepemilikan dalam pemberian jaminan secara de jure dalam arti bahwa masyarakat hukum adat mengakui apabila hak kepemilikan yang diperoleh secara izin kepala persekutuan Kepala Adat atau Kepala Soa , untuk membuka dan mengelolah tanah bagi masyarakat hukum adat dapat dikatakan suatu perbuatan hukum yang sah menurut hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma hukum adat yang berlaku, dan prinsip kepemilikan secara de fakto yaitu bahwa prinsip kepemilikan yang diperoleh itu, sudah diperoleh secara turun-temurun. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam hal pengakuan hak oleh masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Kesimpulan Landasan yang menjadi dasar terjadinya hak milik adat atas tanah masyarakat hukum adat adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum adat pada umumnya dan kaedah-kaedah hukum adat setempat. Prinsip-prinsip atau asas-asas hukum adat pada umum terdapat sama dalam semua lingkungan hukum adat sedangkan kaedah-kaedah hukum adat setempat merupakan adat setempat merupakan hukum adat yang berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang dapat saja berbeda dengan lingkungan hukum adat lainnya. Secara substansi hak milik yang lahir berdasarkan hukum adat hak milik masyarakat hukum adat mempunyai kedudukan yang sama dengan hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah hak milik, perbedaannya hanya terletak pada bukti kepemilikan. Bukti kepemilikan hak milik atas tanah yang lahir berdasarkan hukum adat yaitu bukti penguasaan fisik dan pengakuan warga masyarakat hukum adat setempat, sedangkan bukti kepemilikan yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah adalah berupa sertifikat. Karena itu apabila hak milik atas tanah masyarakat hukum adat didaftarkan kepada kantor pertanahan maka atas tanah tersebut akan diterbitkan juga sertifikat hak milik sebagaimana halnya hak milik yang lahir berdasarkan penetapan pemerintah. Referensi Ibrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media Novyta Uktolseja, “Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon” Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. 65. E-ISSN 2775 - 5649 PAMALI Pattimura Magister Law Review Vol 1, No 2 2021 62-72 72 Publishing, 2006. Keraf, Sony A. Hukum Kodrat Dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta Kanisius, 2001. Laturette, Adonia Ivone. “Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional.” Universitas Airlangga, 2011. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016. Nurtjahtjo, Hendra, and Fokky Fuad. Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Berperkara Di Mahkamah Konstitusi. Jakarta Salemba Humanika, 2010. Parlindungan, A P. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung Mandar Maju, 2008. Sappe, Suryani, Adonia Ivonne Laturette, and Novyta Uktolseja. “Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Dan Penyelesaian Sengketa.” Batulis Civil Law Review 2, no. 1 2021 78–92. Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, 2015. Sumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, 2001. Uktolseja, Novyta. “Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon.” Disertasi Universitas Airlangga, 2015. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this SappeAdonia Ivone LattureteNovyta UktolsejaThe process of the occurrence of use rights over land is based on statutory regulations and government regulations to prevent misuse of the administration process. However, in this era of increasingly modern life, there are many disputes relating to control and use of land for public, individual and private interests. The right to use is not at all a new land rights institution, but it is less well known than the ownership rights, land use rights, or building use rights, for that it requires a correct understanding of the right to use in order to use it responsibly. The purpose of this paper is to study and analyze the arrangements for use rights over land with ownership rights and to study and analyze the process of settling usufructuary disputes over land with ownership rights. The method used in this research is the normative juridical method using the statute approach and the conceptual approach, and the case approach is then studied and used as material for descriptive analysis in order to obtain answers to the problems that occur. The results of the research show that the regulation of use rights over land with ownership rights is very important because, when the right to use stands, buildings or objects become assets of the recipient of the right to use. So when the right of use expires or is canceled it will have a legal effect on the objects on it, thus it is hoped that there must be regulations governing objects or buildings that are included in the relinquishment of use rights even though there is an agreement made by the Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonNovyta UktolsejaUktolseja, Novyta. "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon." Disertasi Universitas Airlangga, Ulayat Dalam Hukum Tanah NasionalAdonia LaturetteIvoneLaturette, Adonia Ivone. "Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional." Universitas Airlangga, Dan Metode Penelitian Hukum NormatifJohnny IbrahimPenelitian Hukum NormatifSoerjono SoekantoSri MamudjiSoekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta Raja Grafindo Persada. Jakarta Rajawali Pers, Pertanahan Antara Regulasi Dan ImplementasiMaria S W SumardjonoSumardjono, Maria S. W. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta Kompas, Sistem Pewarisan Tanah Dati Di AmbonJohnny IbrahimIbrahim, Johnny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang Malang Bayu Media 12 Novyta Uktolseja, "Perkembangan Sistem Pewarisan Tanah Dati Di Ambon" Disertasi Universitas Airlangga, 2015, h. MarzukiMahmudMarzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum,. Jakarta Kencana, 2016. .
  • 5s71ow1k61.pages.dev/354
  • 5s71ow1k61.pages.dev/382
  • 5s71ow1k61.pages.dev/60
  • 5s71ow1k61.pages.dev/101
  • 5s71ow1k61.pages.dev/364
  • 5s71ow1k61.pages.dev/117
  • 5s71ow1k61.pages.dev/208
  • 5s71ow1k61.pages.dev/20
  • 5s71ow1k61.pages.dev/132
  • sistem pemilikan tanah di pulau jawa